Asavella 🍁7

123K 10.9K 625
                                    

Jangan lupa untuk vote dan komennya❤️

ฅ^•ﻌ•^

“Menarilah gadis nakal! Tunjukkan tarian yang kau pelajari!”


Cambukan itu kembali mendarat pada punggung­—lengan telanjang gadis yang tengah menari di hadapan keluarganya dan alam semesta yang sekali lagi menangis—ia menggunakan dress hitam. Dengan benda keras panjang yang tak ada henti melucuti sang gadis. Itu adalah sarana selama sepuluh menit berlalu.

Bahkan, hujan deras di tengah malam menunjukkan kesedihan semesta atas kejadian yang harus terjadi untuk kesekian kali di dunia.

“Udah, Mas! Udah! Kasian adek!” mohon Kunti yang melihat betapa Bara melucuti gadis kecil yang tengah menari tarian putaran fouettés yang terus membuatnya jatuh—bangkit.

“Anak seperti dia enggak ada ampun, Ti! Berapa kali mulut dia membeo seperti gagak? Anak enggak bermoral seperti dia harus dihukum. Siapa lagi jika bukan aku yang menghukumnya untuk kesadaran? Kau?”

"Kau tidak berani melakukan ini, hatimu masih ada lemah dan ibanya," sambungnya.

Kunti meneteskan air mata pertama kali di hadapan Asa. Tapi Asa tidak sekali untuk berminat menatap sang ibu. “Udah. Dia anak kamu! Cukup, Mas!”

Jysa tersenyum tipis—melihat bagaimana sang adik dicambuki habis-habisan oleh sang ayah. Tak hanya itu, mata memerah Asa akibat tangisannya menjadi bahan kebahagiaan Jysa.

Derai air mata Asavella menjadi pertanda bagaimana luka di tubuhnya bukanlah, suatu kemalangan dihadapan sang ayah yang tidak memberikan sedikit belas kasihan.

Suara cambukan itu kembali bergema nyaring di seluruh ruangan. Serasa, sendi-sendi Asa seakan putus dalam waktu bersamaan cambukan itu kembali menyentuh lengannya.

Bukan kembali untuk menari, tangan yang penuh gemetar itu langsung menahan sabuk yang sekali lagi akan mendarat. “Sakit, pah.” tekan Asa dalam kata—yang kemudian tiga kali terbatuk-batuk hingga menampilkan bagaimana darah segar keluar dari mulutnya.

“Adek, kak,” cicit samar kunti yang tak berdaya—menyembunyikan wajahnya pada dekapan Jysa.

“Dia kuat, mah. Kakak percaya sama Aca.” Dia pantas dapet itu.

“Jangan panggil saya PAPAH ANAK DURHAKA! SAYA ENGGAK SUDI!” teriakan Bara menggema—menarik sabuknya dari genggaman Asa.

“Lo pikir, gue sudi? Saat enggak sadar gue manggil lo, papah?” Asa berjalan tertatih-tatih untuk lebih dekat dengan Bara.

Mata merahnya menunjukkan betapa terluka tubuh luar maupun dalam. “Gue bikin ulah apa, sampai lo jadiin gue kek pelacur gelap di luar sana yang dilucuti dengan cara menari?”

“Gue punya salah apa sampai enggak ada pengampunan buat tubuh gue kering dari luka yang baru beberapa hari lo beri ke gue?”

“Gue menari, gue latian mati-matian buat naik di atas panggung pertunjukkan seni. Buat dapat penghargaan yang nanti  bakalan gue berikan ke lo dan kunti!”

“BUKAN MENJADI HIBURAN SEMATA LO, BARA!!” teriak histeris Asa dengan tubuh yang tidak memiliki kekuatan lebih untuk mendorong tubuh Bara.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now