Asavella 🍁35

80.9K 6.9K 145
                                    

Mengingat sebuah luka adalah satu kesalahan yang berakibat fatal tak lain tak bukan—membenci.

Gadis itu merajut berulang kali langkah dengan cepat dengan kepala menoleh ke kanan ataupun ke kiri secara bergantian. Mencari ruang ICU yang di dalam sana ada sosok wanita yang tengah tertidur terlalu lama.

Kesialannya, ia sempat berjumpa dengan sosok perawat yang baru saja keluar dan menghentikan langkahnya  dikala lebih dekat dengan pintu ICU.

“Maaf, sekarang bukan jam kunjung menemui pasien,” info perawat yang menggenggam erat lengan Asa.

Asa diam menjijit sejenak untuk menelisik ruang ICU yang di mana—di bagian pintu ada kaca persegi panjang berbentuk vertikal yang bisa melihat dalam dari ICU tersebut.

Ia menelisik setengah bagian saja yang di mana hanya terlihat pasien berusia satu abad. Tidak menemukan sosok wanita yang ingin sekali Asa temui.

“Mamah,” panggil Asa samar ketika berusaha menelisik masij memastikan di sana ada mamahnya.

“Mah, Anakmu pulang mah, mamah di mana?” sambungnya dengan air mata menetes. Sensitif sekali hatinya jika masalah seperti ini.

“Mah, anakmu pulang, maaf pergi terlalu jauh,” cicitnya kali ini seraya mengusap air mata. Ia tidak ingin menangis di hadapan sosok yang menantikan kehadirannya.

Perawat yang justru larut dalam suara anak gadis ini langsung meraih pinggang Asa dan membawanya pergi dengan sopan. Mengajak duduk pada sebuah bangku yang tak jauh dari sana.

“Cari siapa di sini? Di sini hanya orang-orang tua. Usianya kurang lebih 80-98 tahun. Tidak ada wanita usia muda di sini,” jelas perawat itu sembari membenarkan rambut Asa.

Perawat itu juga bisa melihat jika gadis ini baru saja lepas infus. Di sisi lain, dagunya tertutup oleh kapas yang diberi pelekat handsaplast dan di bagian kening juga. Kelopak mata indah juga masih menampilkan warna biru keunguan yang menghitam.

“Baru keluar dari rumah sakit, ya?” Perawat tersebut bertanya dan mengusap lembut punggung gadis itu dan merasakan di balik hoodie tebal itu ada perban yang tengah membalut tubuhnya.

Asa mengangguk.

“Kamu cari siapa? Saya perawat di sini dan masuk shift pagi. Barangkali, kamu berminat memberitahu namanya, aku akan membantu mu. Siapa nama mamah kamu?”

“Kuntira Diana Putri,” balas Asa samar.

Perawat tersebut mengerutkan alis. Seperti mengenali nama pasien yang baru saja disebut. Perawat yang usianya 27 tahun itu mulai beranjak berdiri—mengulurkan tangan kepada Asa.

“Ikut saya,” titahnya.

000

Lorong yang begitu panjang kini dilewati Asavella bersama perawat. Menuju ke sebuah tempat di mana kurang lebih sosok wanita yang ingin sekali Asa temui.

“Mamah kamu merupakan pasien sini, kurang lebih tiga tahun. Saya mengenalnya, karena saya yang menemani beliau.”

“Tiga tahun?” tanya Asa sedikit memiringkan kepala ke kanan. Pandangannya turun menatap tiap langkah. Tempurungnya bekerja begitu hebat memikirkan satu kata yang di mana sekali Asa sendiri tidak memahami.

Itu waktu yang lama bukan?

“Nama saya, Rea. Tiga tahun lalu, saya merupakan perawat baru yang langsung diberi dua sekaligus menjaga dua orang yang berbeda usia. Tidak menjaga saja, melayani dan membantu di tengah jam perjanjian. Sebab, di sisi lainz saya juga membantu dokter-dokter lain,” dongengnya pada tiap bangsal-bangsal rumah sakit.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now