Asavella 🍁55

65.1K 5.7K 488
                                    

“Mau kasih belas kasih atau mencaci?”

Baru saja adalah monolog Asavella yang terlontar begitu dingin untuk laki-laki yang masuk sendiri dan menyuruh sosok gadis bersamanya untuk menunggu di luar.

Seusai membalik tubuh laki-laki melambai tangan dengan ragu. Asavella yang melihat langsung memutar mata jengah—membuang muka pada sudut ruangan.

“Ngapain ke sini? Mending pergi urus pacar lo. Daripada nyebar fitnah.”

“Ingat. Tubuh gue udah gak bisa nampung lagi luka baru.” peringatnya untuk tidak menabur luka lebih dalam lagi untuknya.

Brian tidak bisa merespon baik dengan perkataan sang gadis baru saja. “Dodit bilang lo berantem sama Nada? Dan … sekarang Nad—”

“—Lo mau nuduh soal atas kematian Nada itu ulah gue juga? Usai kejadian pembullyan Jysa beberapa bulan lalu, kematian Harta pekan lalu, dan kematian Nada yang misterius?” potong Asavella yang justru membuat suasana hening mulai terjadi di antara keduanya.

Brian membuang napas berat. Membuat Asa berdecak dan kemudian berkata. “Andaikata membunuh hal lumrah di negara ini. Mungkin … gue udah bunuh diri gue terlebih dahulu.”

“Gue gatau soal kematian Nada. Tapi yang jelas, di saat gue bakalan tumbang dan penglihatan mulai kabur, gue sempat berbincang untuk stop buat gue mati. Gue masih denger jelas sebelum mata gue nutup, kalo Nada berdoa untuk kematian gue sepulang sekolah.” Lihat! Asavella to the point tanpa Brian minta.

Asavella menarik napas panjang sebelum menghembusnya dengan berat. “Tapi dia yang mati sebelum bel pulang sekolah.”

Ini terlihat aneh, tidak masuk akal dan membingungkan. Kenapa Bisa? Sosok yang mendoakannya untuk segeea mati, justru lebih dulu pergi menghadap sang pencipta.

“Lo udah nemu jawaban dari gue, ‘kan? Terserah lo mau percaya atau membela Nada. Gue gapedu—”

“—Gue paham dan gue ngerti lo bukan pelakunya, Langit.” Kali ini Brian Claudius memotong dialog Asavella yang belum usan dengan penuh penekanan di tiap kata. “Karena gue percaya kalo lo ga senekat itu.”

Asa menyeringai samar dengan menggelengkan kepalanya samar. “Bagus deh. Kali ini otak lo berguna juga.”

“Sa.” Tangan Brian yang terulur untuk mengusap kepala Asa harus tertahan ketika gadis itu memundurkan tubuhnya. Seolah ia menghindar dan tidak ingin disentuh oleh dirinya. “Apa yang sakit?” tanyanya seraya menarik tangannya kembali jauh dari kepala sang gadis.

“Sakit itu apa? Sakit? Gaada,” jawab cepat Asavella.

“Lagi pula cuma ditarik sampai rambut rontok, dibenturin ke sana kemari penyiksaan hewan. Kening berdarah, telapak tangan mati rasa. Cuma hal kecil. Biasanya kan hujan badai angin topan yang gue hadapi. Ya kali hujan gemercik gini gue ngeluh sakit.”

Brian hanya diam untuk sejenak. Dan kemudian ia kembali bertanya. Hitung-hitung untuk ada topik dengan Asavella.

“Udah makan? Gue beliin makanan, yah. Di kantin.”

Asa menggeleng cepat. “Gaperlu repot-repot. Gue udah makan.”

“Makan apa? Sama siapa? Saka?” Entah kenapa yang kali ini di otak Brian hanya ingin melontarkan nama Saka seusai melihat bagaimana sosok laki-laki yang berhasil merenggut ciuman pertama bersama Asavella darinya.

"Kenapa bahas, Saka?"

"Yaudah. Jawab pertanyaan gue. Lo makan apa?" sambar Brian tidak jelas.

“Makan muntahan manusia. Di suapin Nada. Puas?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now