Asavella 🍁69 pt.1

79.8K 5.6K 1.1K
                                    

Ada kalanya melamun dengan genggaman lara yang dibawa untuk sebuah harapan pada kedamaian dan kenangan batin.

Suara isakan menggema di tengah lelahnya tujuh remaja yang sudah berpisah dan kembali ke rumah masing-masing dan memasrahkan diri dengan melukai diri sendiri.

Di sisi lain, ada pria paruh baya yang menjadi pusat perhatian para pengunjung rumah sakit. Suara samar-samar ucapan memanggil Tuhan terdengar Bara di kala para pengunjung menatapnya dengan air mata.

Bagaimana status Bara yang menjadi seorang ayah dengan badan kurusnya tengah menggendong dan membopong dua gadis yang bersimbah darah. Bagaimana tangan penuh gemetar Bara membopong tubuh dingin Mutiara dengan kaki yang terus meneteskan darah. Mata yang berusaha membuka itu terus mengalirkan air mata.

“Vella, pah …, Vella, ke-kedinginan
.., di-dia ... enggak pakai baju di sana. A-ayo jemput Vella. Ayo pah, jemput Vella juga, Ara kangen Vella,” Mutiara menepuk-nepuk dada Bara yang tengah berlari panik memanggil-manggil perawat yang berjaga.

Sama halnya dengan sosok Jysa. Gadis yang digendong di belakang menatap wajah Mutiara. Menahan nyerinya robek pada pipinya. Dengan telapak tangan yang dingin serta sudah tidak kuat digerakkan kembali mencoba meraih telapak tangan Mutiara—menggenggam erat.

Ia juga merasakan perih lubang-lubang kecil pada wajah yang dibuat di topeng kelinci. Tak hanya itu kepala yang ditusuk hebat dengan benda kecil masih terasa hebat nyeri hingg rasa itu mulai beradu dengan matinya rasa.

Dua gadis kali ini saling bertatap sendu. Bagaimana Jysa menggeleng untuk memberi isyarat kepada Mutiara jikalau itu bukanlah  Asavella. Asavella tidak di sana.

“A-ara takut, kak,” lirih gadis yang sudah merasa pandangannya sudah mulai tidak fokus.

Selang beberapa waktu, empat perawat membawa dua bankar. Membantu Bara membaringkan Mutiara terlebih dahulu dan kini sosok gadis itu dibawa masuk pada ruang UGD. Dan tak lama, Jysa yang dibaringkan dalam bankar mulai meringkuk. Ia merasakan jikalau nyawa-nya seolah sudah tidak akan lama pada raganya.

Sebelum bangar milik Jysa menyusul pada ruang yang menyeramkan untuknya ia sempat menggenggam tangan Bara.

“P-papah di sini, nak. Papah di sini, papah di sini,” ucap Bara menggenggam—mencium punggung tangan kanan Jysa.

“A-adek pah, adek,” cicit Jysa yang merasakan bankarnya mulai didorong untuk masuk pada ruangan.

Bara mengangguk. “Iyah. Papah bakalan cari adek kamu. Papah, bakalan cari adek kamu. Papah minta maaf ya, nak.”

“A-a-adek kedinginan, adek belum makan, adek belum pulang, Ica kangen Aca, I-ica takut pah.” Air mata sang anak mengalir deras dengan begitu sakitnya ketika ia bicara dengan luka di pipi. Walaupun ucapannya tidak sebegitu jelas, Bara memahami.

Bagaimana robekan menganga pada pipi yang dibuat sang pelaku memperlihatkan gusi dan gigi geraham Jysa. Jysa juga merasakan tidak bisa berbicara jelas akibat luka robek tersebut. Dan kini gadis itu mulai memasuki ruangan yang sama dengan gadis sebelumnya.

Ruangan yang tertutup. Dan bagaimana sosok Bara mondar-mandir dengan relung kepala yang kalang kabut tak karuan. Kakinya mematung sejenak penuh gemetar di kala sembilan pistol mengarah padanya. Bara mengangkat kedua tangan ke atas.

Para pengunjung banyak yang menjauh. Tidak tahu kenapa dan masalah apa sosok pria tengah di keliling sembilan posisi dengan menodong pistol yang siap melepaskan peluru ke arah Bara jikalau sosoknya berusaha kabur.

Bara bisa melihat sosok perempuan dengan wajah yang terlihat begitu letih. Wanita muda yang ia nikahi secara sirih. Bagaimana tangan kanannya memegang dada dengan jalan dimana terbilang seperti tidak berdaya merajut langkah dekat.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now