Asavella 🍁34

79.3K 7.8K 150
                                    

Rintik hujan di akhir bulan November menjadi saksi sunyi sosok gadis yang duduk diam bersampingan dengan sosok perempuan yang kini menatapnya.

Mereka saling membisu hingga memberi jarak yang tercipta di antara  keduanya. Bila dikata, Jysa membenci Asa itu sudah mutlak dari lubuk. Tapi ... terkadang rasa rindu dari sosok kakak kepada adiknya akan tercipta murni tanpa ada kata pemaksaan.

Saling membenci ataupun saling melindungi. Saling membunuh ataupun bertukar canda tawa, itu hanya akan menjadi privasi di antara mereka.

Seminggu usai berakhirnya Asa dirawat di rumah sakit. Namun bukanlah menjadi satu akhiran seluruh lukanya sembuh. Dokter menganjurkan untuk melakukan psikoterapi atau yang disebut terapi bicara yang sudah dijadwalkan seminggu sekali.

"Kenapa lo enggak mati aja sih, Ca?" monolog singkat yang terhitung ada tujuh kata dalam satu dialog tersebut membuat sosok gadis yang tengah menatap sendu jalan raya harus menurunkan pandangannya.

"Kenapa juga lo harus bertahan hidup? Sementara lo tau, akan bertemu kembali dengan luka," sambungnya seraya menyandarkan tubuh pada punggung kursi mobil.

"Emang ... lo gapapa ketemu luka?"

Jysa mengetuk-ketuk kaca jendela sesekali melihat lampu merah yang sudah berganti warna menjadi hijau. Sementara gadis yang usianya satu tahun di bawahnya tengah menatapnya. Menatap lembut. Tidak ada sorotan dendam dari mata bulat bak bulan purnama itu.

"Gapapa kok." Suara serak Asa terlontar dan mendarat masuk gendang telinga Jysa. Membuat Jysa memilih menoleh ke arah posisi di mana netranya sekarang saling bertemu dengan netra milik Asa.

Jysa menatap sinis Asa. Ia memutar kedua matanya dengan malas, disertai gelengan samar.

"Masih bilang gapapa dikala keadaan merundung lo tanpa jeda?"

Asa mengangguk samar. "Berdiskusi dengan diri sendiri akan jauh lebih baik. Walaupun dalam kenyataan gue ..." Asa menggantung sejenak kalimatnya. Ia memilih menundukkan pandangan."dirangkul oleh luka, dikuatkan oleh rasa dan berusaha menawar untuk berdamai dengan kenyataan." Finishnya yang kemudian menoleh kembali pada jendela mobil-untuk mengalihkan-menepis kasar air matanya.

Mendengar itu, Jysa juga membuang muka. Menarik napas panjang dan menghela berat. Rasa untuk berkata lebih panjang dengan saudarinya akan membuatnya semakin membenci.

Hingga tanpa mereka sadari mobil yang mereka tumpangi berhenti pada sebuah rumah sakit lain.

"Kita sudah sampai," ujar Jysa yang kemudian menoleh ke arah Asa.

Garis-garis kerutan yang terukir pada wajah Asa menimbulkan sebuah pertanyaan. Tempurungnya bekerja, bertanya-tanya, kenapa ke sini?

"Bisa turun, 'kan? Kaki lo nggak cacat, 'kan?" interupsi Jysa yang seraya melepas seat belt.

Asa menoleh ke arah Jysa, melihat gadis berkepang satu itu turun lebih dulu. Asa belum sempat bertanya, namun ia sudah melihat pintu mobil di sampingnya terbuka dan disambut uluran tangan.

Asa melihat Jysa juga sudah memakai masker hitam.

Tetapi Asa masih terpaku diam. Kenapa di rumah sakit? Siapa yang sakit?

Tanpa ragu Asa meraih uluran tangan Jysa. Berpegang penuh pada genggaman sang kakak. Manakala Asa tahu, keadaannya belum sembuh total. Kedua netranya terasa silau, di sisi lain, ia dibuat beku ketika tangan kanan Jysa berusaha memakaikan masker hitam padanya.

"Kalo mau ketemu mamah, pakai masker. Tapi ... ketemunya cuma bisa lihat dari pintu aja, ya."

Deg!

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang