Asavella 🍁56

67K 5.6K 315
                                    

Apakah mereka tengah membentuk lingkaran untuk melakukan pemanggilan arwah?

Bukan-bukan. Tatkala bisa dilihat jikalau mereka tengah melakukan pembahasan serius.

Terlihat pula bagaimana mereka semua duduk melingkar di dalam ruang kesehatan yang telah dikunci. Hanya Asavella yang berdiri meratapi semua orang dengan tatapan penuh keheranan. Kedua alisnya juga bertaut tajam.

Asa bisa melihat, bagaimana sosok Bagus meletakkan dua map yang berbeda. Sementara Jysa yang duduk di sebelah Keci dan Brian itu tengah mencuri pandang pada tubuh saudarinya yang hanya berdiri kebingungan dengan mereka. Di sisi lain Brian membaca dua nama siswa yang berbeda dari berkas tersebut.

Entah apa yang membuat sosok Jysa beranjak berdiri dan merajut beberapa langkah sekadar menghampiri sang adik. Gadis berkuncir kuda tanpa poni itu menoleh kilas ke arah teman-temannya yang serius dengan hal yang harus segera selesai.

“Asa.” Interupsi penuh tekanan serta lengan yang terasa sakit membuat Asavella terbangun dari otak yang bekerja begitu keras hingga membuatnya melamun.

Gadis itu melihat bagaimana tangan sang kakak mencengkeram begitu erat lengannya. Netra bulat Asavella kemudian naik dan menangkap bola mata bulat sang kakak yang sudah berkaca-kaca.

Jysa mencengkeram erat sampai kuku tumpulnya membekas pada lengan asa—kemudian memeluk sembari berbisik dengan penuh tekanan pada tiap kata.

“Harusnya. Lo. Mati. Harusnya lo mati, Asa. Bukan Nada. Harusnya lo.”

Jysa memendarkan dekapannya dari Asavella dan menatap penuh dalam bola sang saudari yang sendu. Jysa mengangguk dua kali. “Iyah. Gue. Yang cuci otak Nada buat bully, lo,” lirihnya penuh pengakuan yang diluar tempurung Asa.

Bagaimana terlihat jelas Asavella tertegun di kala sosok saudarinya mengatakan hal yang mengejutkannya. Dan bagaimana pula, netra Jysa sesekali melirik sekilas teman-teman Asavella.

“Tapi gue masih mau hidup. Gue gamau mati dulu. Gue pengen di sini. Damai dengan diri sendiri dan bisa baikan dengan lo, kak.”

Deg!

Suara samar-samar tulus Asavella membuat Jysa menutup mata. Ia mencoba kembali membuka kedua kelopaknya—ia melihat bagaimana sosok Asavella menahan air mata sekuat tenaga. Hati gadis itu kembali harus terpukul dengan pernyataan saudarinya.

“Jy, kenapa lo pengen banget gue ma—”

“Karena lo hama, Asa,” cerca Jysa lirih dan begitu hati-hati supaya yang lain tidak mendengar. “Lo pengen hidup di sini. Tapi dunia enggak izinin lo tersenyum atau bahagia. Lo sia-sia. Lo percuma napas. Goresan luka lo makin banyak. Cerna baik-baik kata-kata gue.”

Asavella menggeleng cepat. “Jika dunia jahat ke gue, gue gamasalah. Gue gamasalah tergores dengan banyak luka demi melihat sedikit tentang kita berdua bisa saling tersenyum sebagai dua saudari yang baik.”

“Entah apa yang ada di otak gue, kak. Tapi, jujur, gue enggak bisa naruh sedikit benci ke lo. Mamah udah pergi, papah nikah lagi,” gumam Asa dengan kepala menunduk.

“Tapi gue jahat sama lo, Asa. Jangan buat gue berdosa.”

“Jahat kita karena kita selalu dibanding-bandingin papah dan mamah, kak,” ucap Asavella yang sedikit dengan volume nada keras.

Tentu itu membuat mereka yang tengah disibukkan dengan berkas-berkas penting harus terhenti dan mengalihkan pandangan pada dua saudari.

“Mereka berantem lagi?” monolog Bagus yang menutup map yang hampir saja ia ingin beritahu kepada Brian.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now