Asavella 🍁40

76.2K 6.5K 114
                                    

Bunyi decitan pintu kaca membuat pandang Harta, Bagus, Keci dan Mutiara melempar pandang pada arah sosok gadis yang baru saja tiba.

“Lo ... undang dia?” Monolog Mutiara terlempar refleks ketika ia bisa menangkap sosok berambut pendek berpakaian sweater hitam berukuran oversize dengan kalung salib menjadi hiasan pada lehernya.

“Kenapa harus, Asa? Lo tau? Tio, enggak bakalan dateng kalo dia di sini,” timpal Keci yang menekan tiap kata dengan tatapan sinis—tak begitu menyukai kehadiran perempuan yang sebenarnya ia rindukan dalam pertemanan sederhananya.

“Gue enggak undang dia juga kali, anjing,” tekan Mutiara yang memiliki acara kumpul-kumpul.

“Sesama anjing, gausah nyebut,” nyinyir Keci yang memang notabenenya berbicara terus terang.

Asa mendengar. Bagaimana dua gadis yang duduk di sofa panjang berwarna hitam di café VIP sedang mengeluh akan kehadirannya. Mengumpat serapah tanda tak suka.

“Gue yang undang. Kenapa?” Sosok laki-laki dari belakang masuk mengikuti langkah Asavella yang kini berdiri diam.

Dua gadis itu diam. memutar bola mata malas dan kemudian membuang pandangan. Mereka juga tidak bisa menyela di kala melihat Tio Mahardika yang benar-benar tengah membenci Asavella tiba-tiba yang berinisiatif mengundangnya kembali.

“Turuni ego kalian berdua. Sekarang, bukan waktunya untuk adu argumen."

"Dan lo …,” Suara yang memperingati Keci dan Mutiara kini beralih pada Asa. Tio meraih jemari Asavella dan mengisi sela-sela jari yang kosong.

Jantung Asa berdetak abnormal. Sudah lama Asa tidak ada momen berbicara dengan laki-laki yang tiba-tiba meneleponnya dan berkata sudah berada di depan rumahnya sebelum membawa kemari tanpa rencana.

“Gausah takut. Gue pastikan, mereka ataupun gue, enggak akan melukai sedikitpun tubuh lo,” lirih Tio yang menatap mata Asa begitu dekat. Berbicara layaknya seorang sahabat pada sedia kala.

“Dan gausah takut soal perasaan yang tidak terbalas, Yo. Karena kita diposisi tidak bersalah untuk mencintai siapa,” balas Asa yang melepaskan genggaman Tio dan memilih berjalan mendekati titik teman-temannya yang tengah memandanginya.

Tio menurunkan pandangannya. Menatap tangan yang sebelumnya untuk pertama kali sejak rasa benci itu hadir dan membuatnya canggung.

Mereka kini mulai duduk berdiaman. Semua memilih bermain ponsel masing-masing. Bahkan Bagus yang terkenal ceria dan suka heboh di antara sahabatnya itu memilih diam. menyumpal dua rungunya menggunakan headset bertengger berwarna putih.

“Batin gue udah sakit. Kenapa, kalian memutar memori gue ke keluarga gue yang tiap kumpul, main benda sialan ini? Kita kumpul buat apa? Buat adu siapa yang cepat scrolling hape sialan ini?” keluh Asavella yang tertekan dengan menunjukkan ponselnya—di mana sedari tadi tidak ia sentuh atau sekadar nyalakan.

Prang! Gadis itu membanting ponselnya di meja dan mendapatkan perhatian semua temannya. Ia sudah di puncak amarah yang sudah tidak tertahan tiap melihat ponsel yang menghambat komunikasi di antara mereka.

Keci yang mendengar dan melihat juga sekarang memilih untuk meletakkan kasar ponselnya dengan decakan keras yang Asa dengar. Dan kemudian berkata.

“Buat adu luka batin. Lo bisa enggak sekali enggak ngeluh, seakan luka lo tuh, paling pelik di sini. Dan gausah kek anak kecil, bisa? Ngambek gajelas banting hape.”

“Gue ngeluh karena gue tersinggung. Kehadiran gue asing di sini. Salah? Gue ngungkapin apa yang gue rasain? Anak kecil? Kalo gue kek anak kecil terus, lo?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now