Asavella 🍁33

86.7K 6.8K 266
                                    

Tiga hari belakangan ini Brian seusai daring maupun masuk sekolah hanya untuk membahas materi-materi ujian sekolah dan memenuhi tugas sebagai kapten basket. Ia tidak langsung pulang ataupun pergi ke pemakaman lagi. Sebab, ada gadis yang tengah menanti kehadirannya.

Sialnya, ketika ia akan beranjak pergi keluar dari perbatasan sekolahan. Jalannya, dihadang oleh sosok gadis bersurai gelombang yang terurai, tengah menatapnya datar tapi dua netra indah itu menyimpan beribu pertanyaan dan mungkin juga … sebuah rasa rindu yang mendalam.

Brian, menatap malas. Ia mencoba melangkah ke lain arah, namun sayang lagi, gadis itu berhasil menghentikan.

“Apa?” tanya Brian yang kemudian membuka masker hitamnya begitupun dengan Jysa.

“Lo masih tanya apa, seusai mengabaikan pesan gue selama tiga hari? Dan lo, enggak ngabarin gue soal adek gue yang gue kira kabur dari rumah, ternyata di rumah sakit?” sembur Jysa yang kemudian mendorong pelan dada kiri Brian.

“Kenapa lo malah diem aja? Gimana pun, dia adek gue! Keluarga gue!”

Mata gadis itu berkaca-kaca seusai berujar.

“Ngabarin lo, atau enggak. Itu enggak ada perubahan untuk psikis, Langit.”

Brian menyatukan kedua tangannya—seolah memohon sesuatu dan sesekali menunduk kepala. Dan kemudian, ia berujar.

“Gue mohon, jangan beri luka lagi. Dia udah mati dan jangan buat dia abadi dengan luka ini.” finish Brian yang kemudian melangkah pergi. Mungkin ini tidak diinginkan laki-laki tersebut, tapi lihatlah, langkah yang baru dua rajutan harus terhenti ketika Jysa menggenggam pergelangannya.

“Langit?” Jysa menggeleng dengan tawaan samar ketika mengulang satu kata yang terlontar dari banyaknya kalimat yang Brian sebutkan dalam tiap dialognya.

“Gue enggak salah denger? Lo panggil nama itu lagi? Inget posisi. Lo juga pelaku dan ingat siapa lo sebenarnya, bodoh,” tekan Jysa dalam tiap kata namun hanya disambut senyum miring dari laki-laki tersebut dengan gelengan kepala samar.

“Gue pacar lo. Gue berhak—”

“Pacar?” pangkas Brian cepat. Brian tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng samar. sesekali membuang wajah dan mengangguk. “Gue berharap itu masih berlaku diantara kita berdua. Semesta bahkan juga menginginkannya untuk kembali bercinta dan melanjutkan kisah.”

“Tapi … apa lo lupa sesuatu, Jy? Kita udahan dan lo juga yang mengakhirinya. Lo lupa?”

“Lo beneran lupa?” ulang Brian sekali lagi. “Andaikata itu bisa terjadi pada memori gue juga, gue hari ini bersama lo.”

Dengan lantang Jysa menjawab. “Lo anggep serius ucapan gue waktu itu? Gu-gue, cuma kebawa emosi. Seharusnya lo ngerti!!” hardik Jysa dengan gelengan kepala yang menunjukkan kekecewaan dengan sikap Brian.

Brian hanya tersenyum tipis. Apa gadis yang dulu mengikat hubungan dengannya mulai mempermainkan perasaannya?

Brian membuang napas berat, dua netranya sekilas menatap langit biru dan kemudian kembali menatap raut sendu Jysa. Dengan deru napas yang cepat—mata penuh rasa kecewa yang terlontar untuknya.

“Semesta memang suka bercanda dengan kita. Tapi kenapa, lo ikut larut dalam sebuah candaan yang melibatkan hubungan dan perasaan?"

"Kenapa, Jy? Jika emosi, kita bisa bicara dengan kepala dingin, bukan apa-apa putus. Putus. Kita bukan lagi anak kecil!”

“Jika masih cinta gue, gapapa. Gue enggak pernah ngelarang lo. Gue juga masih cinta. Tapi maaf, jangan menunggu gue untuk kembali pada lo.”

“Tetap mencintai dengan cara komunikasi tidak perihal untuk kembali.”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now