Asavella 🍁70 (A)

101K 5.4K 1.7K
                                    

“Dimana pun takdir membawamu pergi. Tolong untuk selalu sehat, ya. Meskipun tidak baik-baik saja. Tetaplah untuk tersenyum walaupun air matamu sedang turun terlalu deras tanpa henti di kala sunyi.” –Asavella

 ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠

Runtuh.

Hancur.

Sesak yang mencekik.

Tangisan dua remaja laki-laki kian menggema keras penuh getar. Suara sirine dari mobil ambulance dan milik polisi saling bersahutan keras hingga menarik perhatian warga sekitar—memadati rumah Keluarga Gerald Permana.

Garis polisi atau yang disebut police line menjadi pembatas para warga yang berbondong-bondong untuk menyaksikan kejadian menyedihkan tersebut kepada sosok gadis 17 tahun yang menjadi salah satu motif pembunuhan.

Teriakan hancur menggema nyaring penuh sakit pada diri Yuga Claudius Permana dengan posisi membungkuk—sujud—memukul tanah berulang kali hanya untuk mengadu pada antariksa sesaknya yang tak lagi bisa ditampung seorang diri. Riri—ibunda Yuga—hancur tidak berdaya dan tidak bisa mendeskripsikan kejadian yang akan di alami oleh keluarganya.

Astagfirullah! Enggak, Ya Rab!! Enggak!! ALLAHU AKBAR! ENGGAK! ASTAGFIRULLAH ....” Dialog sering terulang untuk menyadarkan ini bukanlah suatu yang harus terjadi nyata.

Yuga menggenggam erat ponsel dan menekan beberapa kali tombol telepon dengan begitu kasar untuk menelepon seseorang. Begitupun juga Bagus yang terus menghubungi seseorang namun dua remaja tersebut tidak bisa dihubungi.

Jerit—raung takbir Yuga menyebut Sang Pencipta dengan memukul dada hanya sekedar  menyadarkan ini sekali lagi mimpi.

Tidak hanya dari Keluarga Gerald Permana yang dikejutkan oleh paket berisi potongan tubuh. Ada dua titik lokasi yang berbeda juga mendapatkan paket berisi potongan tubuh yang lain.

Langit sudah tidak lagi menurunkan derasnya hujan bersama badai.

Hujan beberapa hari yang membasahi kota memang sudah reda.

Sialnya, tidak dengan hujan air mata dari ke-empat remaja yang menangis pecah di tempat yang berbeda-beda.

“S-Sa … angkat, ya?"

"Ang-angkat ya, Sa. Yuga mohon, angkat...," mohon penuh harapan jikalau sang gadis mengangkat panggilan darinya.

"Angkat, Langit. ANGKAT!!!! GUE MOHON! ANGKAT!” mohon Yuga kali ini penuh amarah menatap ponselnya—memukul beberapa kali layar ponsel berharap ada harapan. Apapun. Itu. Sebuah harapan kecil berpihak pada dirinya.

Tarikan napas yang terlihat berat sampai harus memukul-mukul dada sendiri. Sekarang, sosok Bagus menatap layar ponsel yang memperlihatkan ia sedari tadi melakukan panggilan suara kepada seseorang dengan kontak bernama. ‘Ara cantik’

“A-a-araaa, angkat. Ang-angkat. Ayo. Ayo angkat. Jangan buat gue gagal jaga lo!” gerutu penuh kesal Bagus tak peduli amarahnya meledak dan menjadi tontonan warga setempat.

“A-a-apa yang gue bilang ke Harta nanti, Ra? Angkat, Ra …,” Sekali lagi. Bagus mencoba kembali melakukan panggilan ulang hampir lima kali.

Ia tidak menyadari jikalau ponsel Mutiara bersamanya sejak hilangnya Mutiara dan Jysa. Bahkan ponsel tersebut di mode pesawat yang di mana tergeletak di dalam kamar Yuga sebelum mereka diminta keluar oleh pihak kepolisian.

“M-mas ….” Monolog serak terdengar tidak asing dari suara laki-laki yang membuat Yuga menoleh penuh gemetar lemas dan menghentikan aksinya yang menghubungi Asavella.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now