Asavella 🍁36

75.7K 6.6K 1K
                                    

"Tapi mamah gamau kamu terluka lagi. Cuma ini yang mamah bisa, kamu di sini lima belas menit lagi, ya. Mamah masih kangen. Dan mamah bakalan telepon wali kelasmu."

"Aku juga cinta kamu, sayang. Mamah pasti sembuh. Hati-hati, ya."

"Dan sekarang mamah udah bener-bener sembuh..."

Bagaimana dirinya tersenyum lebar mengelus puncak kepala Kuntira. Terlalu lama menerbitkan senyum sampai lupa air mata ikut tumpah untuk mengekspresikan suasana hatinya.

Bagaimana juga terlihat ibu dan anak ini sama-sama memakai pakaian berwarna putih yang begitu cantik dan bersih. Sorot mata Asa turun ke bawah. Dengan tangan yang kini memilih mengusap perlahan wajah sosok wanita yang baru saja memberi kasih sayang kepadanya.

"Mamah hari ini cantik. Alangkah baiknya, kalo bangun. Pasti lebih cantik."

"Tidurnya terlalu lama sampai lupa untuk bangun."

Suara itu memohon untuk sang wanita yang terpejam tidur terlalu pulas. Tangan yang terhias dengan sapu tangan putih berpita. Serta beberapa bunga mawar putih yang berada pada tangannya di mana, seolah-olah wanita itu tidur dengan menggenggam sembilan bunga cantik.

"Ca, peti mamah harus ditutup," lirih Jysa menginterupsi seraya memegang pundak sang saudari.

"Mamah kamu bangga liat kamu, Langit," lirih Brian yang kini menguatkan sosok gadis yang sekarang memendarkan senyumannya dan menekuk dua ujung itu ke bawah.

Jysa memeluk Asa dari samping. Sesekali mengecup puncak kepala saudarinya. Ia meredupkan rasa benci kepada saudarinya untuk beberapa hari ini.

"Mamah harus segera dikremasi, Ca. Kita udah nunda pemakaman tiga hari cuma buat kamu. Tolong, lepasin mamah, ya. Kasihan mamah," mohon Jysa yang begitu rapuh. Mengingat bagaimana ketika ia mendengar kematian mamahnya.

"Kenapa enggak gue aja yang di posisi ini. Andai gue tau, lima belas menit itu permintaan terakhir mamah, gue enggak akan pulang, kak. Lo mana tau perasaan gue. Kemarin, baru aja gue dapet yang namanya kasih sayang dan cinta seorang ibu, tapi kenapa? Tuhan merenggut seusai gue ngerasainnya?" Hati Asavella benar-benar mencelos untuk mengungkap apa yang ada dipikirannya.

"Gue enggak akan pernah merasakan kehilangan, sebab yang sering bertamu selalu penderitaan dan luka dan bukan kebahagiaan."

"Kalo aja diberi kesempatan, gue, bakalan tuker kematian mamah dengan kematian gue! Sebenci-bencinya gue sama mamah, anak mana yang kuat melihat kematian malaikatnya pergi begitu aja!"

Brian yang mendengar refleks langsung menarik tubuh Asavella ke dalam pelukannya. Berulang kali ia menepuk-nepuk punggung si gadis untuk lebih tenang. Sementara Jysa? Gadis itu tidak ada tempat sandaran. Tetapi, sebuah uluran tangan menarik tubuh Jysa, Riri memberikannya untuk gadis itu. Tangisan malah pecah tak karuan.

Ia terisak keras dalam pelukan Riri.

Barangkali Bara hadir, itu yang diharapkan kedua putrinya. Tapi, pria itu tidak hadir dalam duka yang menyelimuti kedua putrinya. Seharusnya ia hadir untuk memberi kekuatan dan ketabahan kepada kedua putrinya yang benar-benar rapuh.

Beberapa petugas langsung menutup peti itu. Jeritan pilu dua gadis yang spontan mengetahui berusaha menahan supaya tangan mereka bisa menyentuh wajah Kuntira Diana Putri untuk terakhir kali.

"Mah! Enggak mah!!! Enggak!!! Jangan ditutup!!!" teriak pilu dua gadis itu secara bersamaan.

"Ssst ...," Brian dengan sigap menarik tubuh Asa sementara Riri yang menarik kembali tubuh Jysa untuk kembali dalam pelukan mereka.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang