Asavella 🍁38

76.9K 7K 843
                                    

Bagaimana langkah kecil itu baru saja keluar dari ruang yang memiliki papan nama tergantung dengan huruf kapital yang berjajaran rapi. Ruang kepala sekolah—iya—gadis itu baru saja dari ruang kepala sekolah untuk kedua kalinya, seusai kejadian beberapa minggu lalu penuh dengan ketidakadilan.

Asa meminta surat laporan atas tidaknya bagaimana ia selama ini tidak bisa mengikuti beberapa mata pelajaran yang harus tertinggal untuk diberikan kepada wali kelasnya.

Asa berjalan sendirian. Tiap lorong sepi karena proses belajar-mengajar sudah di mulai kisaran 20 menit yang lalu. ia kini mulai menaiki anakan tangga sekolah yang akan membawa pada lantai dua di mana tidak untuk pada kelas lama yang sudah bukan lagi tempat ia menempuh ilmu. Ia harus berada di kelas reguler—MIPA 8.

Asa berhenti sembari mendongak—menatap dua anakan tangga seraya membuka maskernya. Ia membenarkan sejenak ranselnya dan kemudian membenarkan anak poni yang kini ia selipkan pada daun telinga kanannya. Tubuh Asa terkejut secara refleks. Dia juga terdiam mematung. Ketika ia merasakan kegelapan karena kedua netra yang ditutup oleh dua telapak tangan.

Namun tak disangka, senyuman Asa terbit walaupun tipis ketika ia meraba—merasakan punggung tangan kekar yang terasa uratnya menonjol serta kulit terasa dingin. “Galucu, Brian.”

Laki-laki itu menarik tangannya dari kedua mata Asa. Tubuh gadis itu membalik dan menemukan sosok laki-laki yang membuatnya tak bereaksi.

“Kangen, Brian, ya?” ucap laki-laki itu yang kemudian memijak satu anakan tangga untuk mensejajarkan dirinya dengan Asavella.

“Eh.” Asa menggeleng. “Saka, enggak gi—” Asa semakin terkejut ketika Saka yang secara tiba-tiba memeluk tubuhnya.

“Kenapa harus merindukan seseorang yang suka liat lo hancur, Langit?” tanya Saka yang kemudian memendarkan pelukannya. Menatapi wajah Asa begitu dalam. Dan sesekali membenarkan anakan rambut Asa.

Suasana membuat canggung serta hening.

“Kehadiran gue ... ternyata enggak berguna buat, lo. Apa karena Brian orang lama sementara gue orang bar—” Asa menutup mulut Saka rapat-rapat menggunakan telapak tangan kanannya.

Tatapan sendu sosok Asa serta gelengan samar mengisyaratkan untuk tidak berbicara lebih jauh.

“Ka, gue cuma butuh adaptasi.” Asa berucap pelan dan menarik tangannya dari mulut Saka. Dan lihat, laki-laki itu tersenyum samar yang begitu terpaksa.

“Jangan jadiin gue bahan taruhan dengan masa lalu, lo.”

Raut penuh sedih Saka benar-benar tidak bisa disembunyikan. Topengnya untuk masalah hati tidak sekuat dan setebal topeng milik Asavella. “Lo milik gue, Langit.”

“Iyah. Gue milik lo, milik lo, Ka,” ucap Asa penuh keyakinan penuh.

Tapi siapa sangka, gelengan cepat Saka membuat dua alis milik gadis itu saling bertaut satu sama lain. “Lo bohong, Langit.”

“Lo. Bohong,” bantah Saka seraya menggeleng samar.

“Lo mungkin, bisa bilang segampang itu lo milik gue dan lo cinta gue. Tapi, hati lo. Hati lo udah jadi batu. Di mana cuma Brian yang masih melekat di sana. Apa gue harus jadi bajingan seperti Brian, biar lo jadi milik gue, dan lo klaim secara tulus dari hati lo?”

“Dialog gue sama lo cuma sedikit dan singkat. Sekali berdialog, gue kecewa,” ungkapnya dari dalam hati.

Lihat, Saka Biru Pratama. Tengah mempertanyakan soal perasaan yang di mana pada intinya ingin diakui secara tulus oleh Asavella melalui tiap kalimatnya.

Saka memegang kedua pipi Asa dengan lembut. “Apa gue harus perkosa lo, Sa? Apa gue harus juga hamilin lo biar lo akui dari hati?” Pikiran kotor Saka itu hanya refleks dari kekecewaannya.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now