Asavella 🍁14

109K 9K 971
                                    

Diamnya orang tersakiti adalah senjata paling mematikan untuk membalas dendam.
-Vella 9.9-

Satu jam sebelum Brian ke ruangan inap Asavella.

“Makasih, sus.” Gadis bersurai panjang—gelombang bawah—merasa lega ketika jarum infus itu dilepas perlahan dengan bantuan suster. Ia juga membuat sebuah senyuman tulus untuk wanita cantik yang merawatnya.

Seusai suster membantu menutup bekas jarum infus menggunakan kasa dan handsaplast. Suster mulai berpamitan untuk beranjak pergi tepat sekali bersamaan—cowok berseragam yang masuk dengan wajah sebab nan bengkak. Jalannya begitu lemas seperti orang tidak berdaya untuk melanjutkan hidupnya.

Tentu Jysa dibuat bingung. Tempurungnya bertanya-tanya. Ia memutuskan beranjak turun dari brankar. Menghampiri Brian—menarik lembut untuk mengajaknya duduk di kursi samping nakas dan brankar. Gadis itupun juga duduk di tepian brankar.

Ia pun bertanya. Dan memastikan cowok itu benar baik-baik saja. tangan terulur menepuk lembut bahu kanan sang lawan bicara. “Sayang, kamu kenapa?”

Kok enggak pulang?" Netra cantik Jysa begitu memperlihatkan betapa cemasnya ia dengan sang kekasih. Sesekali ia juga mengusap pipi tirus Brian yang terasa dingin.

"Kamu sedari kemarin di sini, ya? Kamu tidur di mana semalaman? Kamu bolos sekolah? Hari ini ada pengambilan nilai presentasi sosiologi. Kamu kenapa jadi letoy gini, sih?” Jysa dibuat kebingungan ketika Brian menatapnya kosong. Seakan nyawanya tengah tertinggal tak tahu di mana.

“Aku dengar ..., bunda kamu juga ke sini, ya? Tapi kok enggak mampir ke kamar inap ku?” Sekali lagi gadis itu diabaikan Brian. Tak ada balasan sepatah kata dari sang lawan bicara.

“Kamu jangan gini, ah. Kamu bikin aku khawatir. Kenapa sayangnya, Jysa?” Jysa mengusap-usap pipi Brian menggunakan ibu jarinya. Memastikan jika sang kekasih baik-baik saja. Bahkan memberi sebuah kecupan singkat di pipi. Namun, Brian menghapusnya.

Sang lawan bicara justru menangis. Tentu itu membuat gadisnya kebingungan. Bagaimana kepala itu serasa ingin meledak karena Brian masih tetap bungkam.

“Kenapa sih?! Baik-baik aja kan, kamu?”

Laki-laki ini kian mulai menepis air matanya. Mendongak—menatap penuh iris mata milik Jysa yang begitu persis dengan milik Asavella.

“Lo masih bisa tanya ke gue baik-baik aja soal apa yang bokap lo bilang ke lo? Lo pikir gue enggak denger? Gue emang pernah buta. Tapi gue enggak tuli.”

Dahi Jysa berkerut. Ia tidak paham dengan pembicaraan Brian. Kenapa nadanya menjadi begitu dingin kepadanya?

“Yang mana?”

Brian menunduk. Laki-laki sang penabur luka itu justru bertepuk tangan seusai mendengar dialog Jysa—membuat gadis tersebut kebingungan. Padahal tidak ada yang membuat lelucon di sini. Lalu apa yang ditertawakannya?

“Lo apaan sih, ketawa-ketawa! Gajelas,” sinis Jysa yang sebenarnya ketakutan dengan cara Brian yang tertawa sendiri tidak jelas seperti orang kesurupan.

Brian masih terkekeh renyah. Dan kemudian tersenyum sinis.

“Lo masih tanya kenapa gue ketawa?”

Alis yang tidak terlalu tebal itu terangkat satu. “Sinting atau pura-pura polos, cantik?”

“Lo kenapa, sih? Gajelas banget!” timpal Jysa yang mulai tidak terima dengan kata menyakitkan dari bibir tipis cowok tersebut.

“Elo yang enggak jelas, Jysa.” Brian menyentil kening Jysa dan mendorong sedikit. “Lo tanya gue kenapa? Apa gue baik-baik aja, setelah bokap lo yang enggak waras itu bakalan ngerenggut nyawa adek, lo!”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now