Asavella 🍁62

74K 5.8K 383
                                    

Gadis berhodie oversize dengan ciri khas warna yang ia suka—hitam— tengah duduk tenang berhadapan dengan sosok pria muda berjas putih. Pria pemilik mata sabit dengan usia yang masih terbilang muda yaitu 24 tahun. Senyuman dokter tersebut terlihat tenang, manis bak permen kapas sembari menyebut nama lengkap pasiennya dengan sempurna. Tak lupa juga, dokter psikiater—yang di kunjungi Asavella menyapa lembut.

“Cantikmu begitu mirip dengan pasien saya yang tak lain mamah kamu,” puji dokter tersebut seraya membenarkan duduknya.

Asa melirik meja yang ada papan nama pria muda tersebut. Di mana di meja tersebut yang terpampang nama dr. Daniel Sandyrama Putra. Spkj.

“Dari keseluruhan yang kamu sampaikan kepada saya, kamu bukan hanya cuma anxiety disorder saja. Depresi dan trauma berkepanjangan juga. Membuat halusinasi seakan nyata dari trauma yang kambuh,” info Daniel kepada Asavella.

“Saya lihat, kamu terlalu memendam amarah marah, benci, kecewa, sedih, tangis yang di mana kamu enggak bisa adukan kepada semesta. Karena kamu tahu, yang membuat kamu seperti ini adalah isi semesta yang tidak satupun bisa merangkul mu.”

Asavella mengepalkan tangan pada hoodie hitamnya. Menggigit bibir sekuat tenaga untuk menahan seluruh benteng supaya tidak runtuh.

“Bahkan … kamu merasa terluka dengan keadaan. Di mana kamu mengatakan kamu punya rumah, tapi tidak dengan atapnya yang menjadi utama dari rumah bagian tersebut. Tempat pulangmu ... juga tempat luka barumu. Untuk soal benci yang kamu sampaikan kepada saya, saya menyimpulkan kamu membenci dirimu sendiri, ya? Kenapa?”

Asa semakin mengepalkan tangannya. Matanya penuh berkaca-kaca. Jika ia menjawab sedikit kata saja, air mata itu akan terjun bebas tak kendali.

“Karena saya tidak punya, Tuhan dan agama. Saya terlahir sebagai gadis agnostik,” lirih Asavella membuat bungkam Daniel detik itu juga bersamaan dua terjunan cepat air mata Asavella.

Daniel yang melihat langsung berdiri. Mengusap air mata Asavella. “Tidak masalah, itu bukan berarti kamu harus membenci diri kamu. Kamu tidak salah atas hal ini.”

“Bagaimana saya tidak bisa membenci diri saya? Mamah masih memiliki agama tapi saya tidak, karena ikut papah. Lantas, jika saya mati nanti alam mana yang saya tuju?” tanya Asavella kepada sang dokter.

Daniel terdiam. Diamnya begitu lama. Ini terlalu sensitif untuk dibahas.

“Dok? Kenapa diam? Apa dokter tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan saya?” tanya gadis pemilik mata teduh tersebut.

“Kalau begitu, biar saya jawab,” ujar Asavella. “Orang seperti saya yang tidak memiliki Tuhan, namun, percaya akan adanya Tuhan, di manapun kaki ini menginjak mengelilingi bumi, jika kami mati nanti, surga bukanlah alam terakhir dari rumah dan istana kami.”

“Orang-orang seperti kami akan berkumpul dan melewati surga yang selalu dilambangkan dengan rumah terindah bagi mereka yang beriman kepada-Nya. Dan kami? Kami akan menuju tempat menyeramkan dengan kobaran api yang menjadi rumah kami bersamanya malaikat yang menanti kami untuk mencuci segala dosa selama di bumi. Dokter paham?”

Asavella mengangguk samar. “Iyah. Nerakalah yang menjadi istirahat akhir dari perjalanan kami di bumi tua ini.”

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Asavella mengayunkan kakinya pada rumput-rumput pendek di taman rumah sakit. menatap sekeliling sembari menatap obat yang sekarang menjadi teman makan kesehariannya. Menunggu seseorang yang akan menjemputnya pulang.

“Apa sudah dijemput?” tanya Rea—perawat yang menemani Asavella berkunjung dan bertemu dokter yang akan menjadi tempatnya bolak-balik kontrol kesehatan jiwanya. Rea juga perawat mamahnya dulu. Dan sekarang Rea juga yang akan menemani Asavella.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang