Asavella 🍁16

107K 10.2K 349
                                    

“Udah atuh, Bi. Jangan nangis. Dari Aca dateng nangis mulu sampai sekarang. Aca mah baik-baik aja.” Monolog Asavella diiringi kekehan samar yang sedang mengoles mata kanannya dengan salep Gel yang sudah diresepkan oleh dokter.

“Aduh, non! Siapa yang enggak nangis. Bibi liat berita di rumah sama Pak Nasikan juga nangis 1 hari/24. Pakek acara denger non sadarkan dirinya lama kan udah termasuk kritis. Belom lagi Tuan Besar yang mau hukum mati, non. Sakit non! Sakit hati, Bibi,” raung Bi Mimin, dengan tangan yang sibuk membantu gadis itu memakaikan salep gel di beberapa bagian punggung dengan batin yang terlalu tergores.

“Walaupun non bukan anak bibi, tapi gimanapun. Bibi yang rawat Non Aca dari masih bayi. Sesak hati Bi Mimin, non. Enggak paham kalo anak dikampung Bibi yang diginiin.”

“Ya Allah, non! Ini sakit, ya? Ini sakit banget ya, non?” tanya Bi Mimin pada tiap luka Asa yang sudah sepenuhnya mengering.

Hati wanita tua itu sungguh tergores secara tak sengaja. Dua hari pertanyaan ini masih dipertanyakan walaupun sang pemilik luka selalu mengatakan ini akan sembuh. Dan semua akan baik-baik saja.

Asavella masih menatap nanar pantulan wajahnya dari kamera depan ponselnya. Melihat bagaimana luka di mata kanannya sudah tidak separah hari pertama sama hari kedua sesudah insiden. Ini adalah hari kelima proses penyembuhan. Untuk kontrol, masalah jahitan yang sudah kering atau belum di beberapa bagian, Asavella ditemani Bi Mimin.

“Bi, Aca cantik, nggak?” Gadis bersurai pendek  itu bertanya mengenai visual yang menurutnya sudah rusak. Di mana beberapa titik wajahnya lebam dan juga di titik lain mendapatkan jahitan.

“Atuh, non. Non mah, mau gimanapun tetep cantik!”

Mendengar jawaban sederhana Bi Mimin membuat Asa bisa tersenyum. Sesederhana ini membuat Asavella pecinta hujan dan luka bisa tersenyum. Ya. Ia harus terluka terlebih dahulu untuk satu tawa ataupun senyuman.

“Non, mau makan?”

“Enggak, Bi.”

“Yaudah. Bibi bersih-bersih rumah, ya. Nanti kalau ada apa-apa panggil Bi Mimin.”

“Iyah. Semangat ya, kerjanya. Kalau capek harus istirahat. Jangan kerja rodi.”

“Itu mah, Asiap! Non juga, cepat sembuh. Permisi, Non.”

Asavella menelisik tiap ruangan sembari memakai kaos berukuran lebih besar dari tubuh mungilnya—ketika ia sudah memastikan salep gel di bagian punggung dan lengannya sudah sedikit mengering.

Ia mulai berjalan dan menuang sereal di tempat makan kucingnya—Beebee. Dengan cepat kucing manis itu yang sedari tadi tidur di dalam rumah kecilnya—berjalan dengan kaki pendeknya menghampiri tempat makan. Ia memakan dengan begitu lahap. Tanpa membuat noda di lantai.

“Lapar, ya? Maaf, ya. Waktu kejadian yang gue alami. Lo jadi enggak makan. Besok, pulang sekolah. Gue ajak jalan-jalan. Kita sepedaan lagi, okey!” Asa mengusap-usap bulu Beebee. Mengajaknya bicara adalah suatu healing terbaik dalam hidupnya.

Asa kembali berjalan mendekat ke arah tepian ranjang. Ia meraih ponselnya kembali—membuka aplikasi berwarna seperti jeruk dan melihat daftar perpustakaan. Ia rasa, ia harus menghapus beberapa judul dengan nuansa terlalu dewasa mulai hari ini. Ya … walaupun yang baca bukan dia, tapi itu mengotori perpustakaannya.

Ia hanya menyisakan beberapa judul yang ia rasa hari ini harus dilanjutkan.

Gadis itu menelisik tiap kata dalam tulisan sederhana itu. Terkadang ia sesekali tersenyum ketika menemukan beberapa scene yang membuatnya harus menarik kedua kurva ke atas.

Tanpa ia sadari, pintu kamarnya mengeluarkan bunyi decitan dari gesekan ujung pintu dan ubin kamar—menimbulkan suara yang membuat netranya harus menangkap sosok yang tengah membawa gitar.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang