Asavella 🍁37

77.1K 6.7K 566
                                    

Selembar kertas yang tiga hari masih menjadi kebimbangan untuk gadis yang tengah terdiam di rumah dan tak pernah keluar kamar untuk sekadar minum ataupun makan. Ia mempertimbangkan untuk mendatangani di atas materai soal tawaran Bara.

"Bagaimana? Kamu mau? Hanya menjadi model bukan pemain. Uangnya buat jajan kamu. Lumayan bukan?"

"Kabari papah jika kamu mau dianggap anak sama saya."

"Jika kamu mau, jangan lupa beli materai ya, dek."

"B-buat apa, pah?"

"Kamu gak goblok 'kan? Kalo omongan bisa dipercaya, materai enggak bakalan dijual."

"Jadi ... selain tanda tangan, kamu tempel materai 3000 di sana."

"Harus model dewasa? A-asa enggak bakat."

"Ya itu salah satu kamu bisa mengetahui satu rahasia siapa pembunuh mamah kamu. Apa mau jadi pemain dewasa?"

Semua percakapan rahasia itu terekam di dermaga. Sebelum mereka berpisah.

Dunianya runtuh sudah terlalu lama. Tapi masalah selalu bertamu tanpa mengenal waktu ataupun mengetahui yang kemarin sudah usai atau belum.

Ia juga sesekali memikirkan tiap kalimat Bara. Bagaimana tempurung sosok Asavella tak lepas dari dialog Bara dua hari yang lalu. Asa ingin mencari tahu. Tapi …

“Di mulai dari orang terdekat?” gumam samar Asa sembari menatap lurus jendela yang di mana melihat pantulan kirana yang masuk dari sela-sela gorden.

Asa terdiam sejenak. Tak sanggup berpikir lebih jauh, ia lantas mengacak-acak rambutnya penuh frustrasi. “Siapa anjing! Argh! SIALAN!!”

Ia menunduk dan menyembunyikan wajahnya pada tangan yang ia lipat di atas meja belajar. Mata sembab yang belum pendar kini harus menumpah sedikit air mata. “Gue makin enggak baik-baik aja mah, pas mamah pergi.”

“Makan sama mamah ya, dek. Sama kakak juga.”

“Di sini lima belas menit lagi sama mamah ya, mamah masih kangen.”

“Kamu anak istimewa yang luar biasa, sayang.”

“Hey, anak cantik mamah kenapa nangis? Cerita sini.”

Suara-suara samar yang terekam memori itu membuat isak Asa begitu kuat. Meremas selembar kertas sekuat mungkin hingga kusut tak berbentuk. Suara-suara itu seakan mendominasi tempurung Asavella.

“Mah, anak mu ini rapuh,” cicit Asa yang kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Anakmu enggak sekuat yang kamu bayangkan. Anakmu sudah usang. Dunia enggak lagi berpihak dengan anakmu ini.”

“Papah jarang pulang mah, setelah kematian mamah. Papah sibuk dengan istri keduanya, Bara lupa akan dua anak yang tinggal di rumah besar tanpa sosok orang tua. Padahal, anak perempuannya masih membutuhkan figur sosok ayah.”

Kematianmu adalah mimpi buruk terhebatku, mah.

Asa dengan sigap segera mengangkat kepala. Menghapus seluruh air mata yang membasahi pipinya. Dan kemudian memejam mata sejenak sembari membuka mulut.

“Enggak. Gue enggak boleh seusang dan serapuh itu."

"Gue. Layak. Hidup. Gue layak bahagia dan gue layak untuk berdiri di dunia ini. Gue enggak boleh terhasut untuk bunuh diri untuk mengakhiri semua masalah. Mereka akan senang dan mereka akan tertawa. Iya. Gue layak untuk bahagia,” gumam gadis itu dengan tangan yang menyilang menepuk pundak kanan kirinya.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Area sekolah yang sudah seminggu lebih tidak pernah terpijak oleh kaki jenjang sosok gadis yang kini tiba sendiri menggunakan sepeda kesayangannya.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang