Asavella 🍁61

73.6K 5.9K 674
                                    

Hujan membasahi seluruh kota di akhir bulan yang bisa dihitung beberapa hari lagi akan menuju bergantinya tahun juga.

Pergantian tahun tanpa mamah dan tanpa laki-laki yang ia cintai.

Asavella tidak berbicara dengan orang rumah. Rasa ingin menjerit—meraung sesak dadanya hanya bisa ia bungkam dengan kedua tangan untuk tidak meluapkan betapa sesaknya dia berdiri sendiri tanpa ada satu orang di samping gadis tersebut.

Langkah kaki pelan seorang perempuan membuat bola mata dengan kelopak yang sembab mengarah pada titik suara tersebut.

“Aca.” Panggil Jysa penuh hati-hati dengan empat pasang kaki yang mengekor di belakang; Mutiara dan Keci hadir di sana.

Tangan mereka serentak tak sengaja melambai menyapa, tatkala gadis yang ingin sekali ia ajak bicara justru membuang wajah.

Gadis berkepang dua dengan jepitan pelangi menunduk—menoleh ke arah Mutiara dan berganti ke arah Keci. Mereka yang tengah di tatap sendu Jysa langsung mengerti. Dua hari, tiga gadis itu datang menghampiri kamar Asa namun tidak ada respons positif. Suara Asavella benar-benar tenggelam oleh bumi dan lukanya.

Dua gadis tersebut memilih pergi sementara sosok yang berstatus menjadi sosok kakak memilih melihat sekitaran kamar Asavella. Bagaimana bau sangit dari benda yang terbakar, kasur yang berantakan, piala dan medali yang sudah tidak berbentuk utuh. Serpihan kaca pigora yang pecah berserakan, Jysa tidak bisa mendeskripsikan lagi seberapa pecahnya kamar yang dulu selalu terjaga rapi kini berantakan seperti tak lagi berpenghuni.

Kini, titik langkah dengan sepatu berwarna putih tulang berhenti pada pijakan di mana Asavella menatap hujan dan Jysa menatap hujan lain yang jauh lebih deras terlihat pada mata Asavella.

Jysa memposisikan tubuh menghadap jendela—bergabung dengan Asavella dan tersenyum sedikit tipis walaupun itu terpaksa dan ia melihat dua katup bibir sang adik membuka samar, kelihatannya … sang adis akan mengatakan sesuatu

“Kak ….” panggil Asavella pelan dengan tatapan masih terarah pada jendela dengan hujan yang masih begitu awet derasnya di luar sana.

“Gue … jahat ya, sama lo? Jujur.” tanya Asavella melirik sejenak dan menaikkan pandangan untuk memperlihat jelas wajah sekilas dan kemudian membuang.

“Jahat? Perihal?”

“Gue tahu dan lo tahu. Laki-laki yang selalu gue obsesiin dan gue harap jadi tokoh terfavorit di cerita gue, ternyata sudah menjadi tokoh utama lain di cerita lain.”

“Dia Yuga, bukan Brian. Lo pasti tau itu. Dan lo yang telah buat diri gue menjadi bagian orang paling jahat di cerita lo. Iyakan?”

Jysa menunduk sejenak. Mengetuk-ketuk kaca jendela yang mulai berembun karena pendingin ruangan ditambah adanya hujan. Ia tidak menjawab sedikit pertanyaan dari lawan bicara.

“Diam lo kali ini adalah jawaban paling benar, dimana lo gabisa jelasin dari hal yang tersirat.” Asavella menyimpulkan jika diam Jysa adalah jawaban paling benar. Sebab, sang kakak sudah diam kurang lebih dua menit dan membuat suasana sunyi.

Jysa menggeleng. “Lo selalu ambil kesimpulan terlalu singkat. Seolah aku menuduh mu hari ini.”

“Bisa gue putar balik omongan lo?” Jysa mengangkat satu alis sebelah kanan. Ia mendapatkan sorotan datar dari Asavella di kala ia menurunkan pandangan pada sang adik.

“Dengerin gue.”

“Di kisah gue emang lo orang paling jahat karena lo telah merubah posisi tokoh utama menjadi seorang figuran belaka, tapi … di cerita lo enggak ada tokoh antagonis ataupun protagonis. Enggak ada.” Jysa menggeleng penuh yakin.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now