Asavella 🍁30

80.3K 7K 469
                                    

Asa melihat meja makan yang penuh hidangan lezat. Melihat bagaimana sang mamah dan saudarinya sibuk menikmati hidangan sore tersebut seusai Jysa pulang dari sekolah.

Asa meremas perutnya yang terus berbunyi—ia hanya memandangi dari dapur—yang di mana ia berpura-pura ambil segelas air dingin dari kulkas. Padahal, ia hanya ingin menghirup aroma tiap hidangan itu dan berharap bisa menetralkan rasa laparnya. Naasnya, justru membuat lambung itu berdemo dengan suara keroncongan.

Ia berlari kecil ke arah tempat sampah. Mengorek-ngorek sampah tersebut berharap ada segumpal nasi kemarin yang di mana Asa bisa lihat Bi Mimin sempat membuangnya.

Dan benar Saja! Asa menemukan segumpal nasi—segenggam tangan yang di mana membuat kurva naik. Gadis itu dengan kaki mungilnya berlari kecil mengambil piring dan meletakkan nasi itu pada piring.

Bentukan nasi itu begitu basa dan sudah tercampur dengan beberapa sisa kuah dari sayur basi dan tulang belulang ayam.

Bau menyengat yang merusak indera penyiuman bukan menjadi suatu  faktor alasan untuk ia menolak untuk tidak memakannya.

Hampir tiga hari Asa tidak mendapat makanan—hanya saja susu putih yang ia rasa tidak mengenyangkan.

Bahkan tiap malam, ia terpaksa menyamili sereal kucing—yang jelas membuatnya terus muntah.

Asa menyendok nasi basi yang teksturnya basah—menyuap ke dalam mulut dan melihat ayam goreng yang digigit oleh Jysa. Dengan senyum terbit, ia bisa merasakan ayam goreng tersebut dengan nasi yang tengah ia santap.

Seakan-akan Asa juga memakan ayam goreng itu.

Siapa sangka, sang mamah tanpa sengaja menatap bagaimana anak bungsunya duduk di lantai dengan kaki bersilang. Menikmati nasi yang entah dari mana gadis itu ambil.

Asa yang hendak menyendok—menyuapkan pada mulutnya kembali, tertipis secara tiba- tiba oleh wanita yang kini menggeleng cepat dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Nasi itu sudah basi, dek.”

Asa menghela napas—menunduk—memungut kembali sendok dan nasi-nasi yang berserakan di lantai.

“Makan sama mamah ya, dek. Sama kakak juga.”

Asa menggeleng. “Aca makan ini aja. Kalian makan aja, hiraukan Aca.”

“Itu basi dek, gak enak. Nanti kamu sakit. Tolong dengerin mamah mu ini.”

“Mah ….” Lirih gadis itu.

“Tolong ngertiin Aca untuk hari ini, Mah. Aca capek, jadi sasaran empuk kemarahan papah. Aca gamau.”

“Ngapain kamu di situ?”

Suara itu menggema dari lantai dua. Bagaimana sosok Bara muncul—menuruni anakan tangga dan menggulung ke atas kerah dari lengan tangannya.

Baru juga dibicarakan, panjang umur sekali Bara.

Seksama enam pasang mata melirik ke arah pemilik suara itu yang sekarang sudah turun dan menuju titik ruang makan.

Asa beranjak berdiri untuk membereskan piringnya yang kemudian ia letakkan pada tempat pencuci piring. Segera ia juga mengambil segelas air dingin.

“Ica, jawab papah. Kenapa Aca di sini?” tanya Bara yang membuat Jysa mencengkeram erat rok sekolahnya.

Jysa hanya diam. Ia sesekali melirik saudarinya.

“Ica, jawab papah. Atau ….”

“Aca memaksa mamah buat memberinya makanan. Dan mamah memberikannya,” dusta Jysa sempurna seraya mata tertutup.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now