Asavella 🍁13

112K 9.1K 978
                                    

Riri serta kedua polisi keluar dari ruangan Asavella. Meninggalkan gadis bernasib malang bersama laki-laki berkacamata bening dengan pakaian formal tengah duduk di samping brankar Asa.

Pria tua itu menatap tangan sang putri dengan jelas—bukannya memegang sebuah makanan kesukaan melainkan tengah ditahan oleh alat polisi. Pria itu menatap sekilas wajah sang putri yang hanya menatapnya kosong. Ia juga sekali-kali menelisik tubuh si gadis yang keseluruhan penuh dengan lebam merah-merah kebiruan. Tak hanya itu, ia juga melihat beberapa jahitan di kening dan telapak tangan kanan yang dibungkus perban putih. Mengenaskan bukan?

Tidak ada suara dari kedua belah pihak. Mereka saling membisu tanpa mengucap sepatah kata untuk mencairkan suasana.

“Papah masih kecewa dengan mu, dek.” Suara husky itu akhirnya terlontar dan membuat Asa tersenyum nanar.

“Papah pantas kecewa dengan adek. Adek, enggak bisa jadi kakak.”

Bara membasahi bibir bawahnya. Menunduk sejenak kemudian mendongak menatap sang putri.

“Mamah mu ... menangis sampai pingsan saat papah memutuskan untuk meminta pengadilan supaya adek dihukum mati.”

“Papah ingin sekali mengembalikan adek kepada Tuhan.” Bara mengucapkan kalimat baru saja tanpa memiliki beban ataupun dosa. Seakan apa yang ia putuskan itu sangatlah baik.

Asa mengangguk. Air matanya jatuh saat ia mengerjap sebelum menjawab.

“Kembalikan saja adek ke Tuhan, adek manusia usang yang sudah tak berguna bukan?” jawab Asa begitu kuat menahan air mata dengan benteng-benteng yang tersisa.

 “Papah, sungguh kecewa dengan pola pikirmu yang picik.”

“ Papah, sekolahkan adek mahal-mahal, bukan untuk menjadi seorang pembunuh apalagi hampir merenggut nyawa kakakmu sendiri. Papah enggak mau nama papah tercoreng tinta hitam. Adek tahu itu. Tapi kenapa, bisa-bisanya adek punya niatan ngebunuh kakakmu secara hidup-hidup. Malu papah!”

Lihat, sekali lagi Bara menyudutkan Asa. Seolah itu kemauan Asa dari lubuk hati terdalam. Jikalau berlaku, maka iblis dalam tubuh Asa meminta untuk membunuh dirinya sendiri dan mendapatkan dosa tersendiri daripada harus menanggung dosa manusia lain.

Asa mengangguk kembali. “Adek tahu. Papah sama mamah selalu menjaga baik nama kalian di hadapan publik.”

Bara menarik napas berat. Melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersandar pada punggung kursi.

“Kakakmu memohon untuk tidak ditindaklanjuti ke proses hukum."

"Papah sebenarnya menolak. Tapi kakakmu menangis dan terus memohon. Jika saudarinya tiada setengah dari jiwanya juga akan tiada.”

Asa tidak ingin memikirkan apa–apa dan tidak ingin berdebat untuk satu hari ini.

“Dek. Kakak kamu, sebaik itu sama adek. Tapi kenapa, adek brutal gini? Hm?”

“Kurang apa mamah sama papah ke adek? Kamu punya uang, kamu punya segalanya. Iyakan? Kehidupan serba tercukupi. Lihat orang miskin di luar! Makan aja enggak bisa. Sekolah aja susah. Apalagi di tengah pandemi gini. Mikir tuh sampai sana.”

“Iya.” Tapi enggak dengan kasih sayang kalian. Mereka punya rasa bahagia di kehidupan yang terbatas.

“Sekolahan juga sudah mengeluarkan mu dari sana. Mencoret mu dari daftar calon peserta olimpiade tahun ini. Tapi, kakak kamu meminta adek tetap bersamanya. Kata kakak mu, bagaimana jika adek ada yang membully di sekolah lain atau tidak di terima di sekolah manapun setelah kejadian ini?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now