Asavella 🍁20

114K 8.4K 369
                                    

Tiada hari tanpa masalah hidup.

Tidak semua orang yang memiliki banyak uang akan merasa hidupnya  dipenuhi bahagia dan ketentraman. Karena semua akan kalah dengan kebahagiaan dan canda tawa yang diberikan orang tua dengan cara begitu sederhana.

Tetapi itu semua hanya semata yang tak akan pernah berlaku untuk Asavella. Gadis itu kini sedang beradu argumen dengan emosinya. Ia merasa canggung saat harus duduk satu mobil dengan sang mamah—Kuntira Diana.

Di mana wanita itu kali ini berniat mengantarkan sang anak pergi ke sekolah dengan mengemudi sendiri. Tidak ada Jysa di sana. Dikarenakan sekolah mereka bergantian untuk masuk. Untuk menghindari corona virus yang diberitakan tengah memarak kembali.

Asavella dan Kunti jarang sekali berbincang. Hanya seperlunya aja. Membahas sekolah atau kelas Ballerina.

“Mamah, apa kabar? Udah lama enggak anter adek ke sekolah. Terakhir waktu adek duduk di satu.”

“Seneng tau, adek dianter mamah.”

“Maafin adek soal itu. Udah bikin mamah marah.”

Kunti hanya diam. Netranya terfokus pada jalanan. Tangannya sibuk untuk mengemudi.

“Mah aku sayang mamah. Semarah apapun adek ke mamah waktu itu,l karena dianaktirikan, adek sebenarnya sayang sama mamah—”

“Aduh, Sa. Kamu bisa diem enggak? Mamah tuh, lagi nyetir. Kalau kecelakaan gimana? Diem bisa nggak? Otakmu dipakai malu sama status pelajar kelas unggul. Udah tau orang lagi nyetir masih aja diajak bicara,” tegur Kunti sembari memukul setir dan sesekali tangannya memelintir telinga kanan anak gadisnya hingga memerah.

Asa hanya menahan nyeri pada telinga dengan kepala menunduk.

“Maaf, Mah. Adek cuma kangen ngobrol sama mamah berdua. Dan mau bilang Makasih udah pernah nangisin adek waktu papah mau hukum mati adek.”

“Ngapain sih kamu kangen-kangen. Kek dikehidupan kamu kosong banget. Udahlah setiap hari juga ketemu.”Kunti mendecak. Menyibakkan poninya ke belakang seraya membasahi bibir bawahnya.

“Kamu juga lihat saya di sini. Saya belum mati. Dan jangan seakan saya sudah mati.”

“Emang, rindu harus menunggu kehilangan, ya?” tanya Asa.

“Gausah bahas itu juga. Kamu juga ngapain sih, pakai acara mau ngebunuh kakak kamu. Tau sendiri, risiko kamu kalau papah kamu marah. Bara enggak pernah main-main kalau udah marah ke kamu,” ceplos Kunti yang seakan tengah berkata jujur.

Kini mobil berwarna hitam itu terparkir tepat pada seberang jalanan sekolah SMA MERPATI SILA LIMA. Asavella masih melamun tanpa menyadari jika sedari tadi Kunti memanggilnya.

Dorongan kepala hingga membentur keras pada dashboard membuat hidung Asavella mengeluarkan cairan kental berwarna merah segar. Ia juga merasa pusing ketika ia terperanjat dalam lamunannya.  Itu semua karena Kunti yang sudah terbawa amarah marah.

“Kamu tuh, dipanggil dari tadi tuli atau gimana! Sakit, 'kan! Makanya kalau dipanggil itu di dengerin!” celetuk Kunti ketika melihat hidung sang anak berdarah.

“Maaf, Ma.”

“Maaf mulu. Ngelamunin apa sih kamu! Fokus sama hidupmu jangan lemah! Kalau gini terus, yang ada kamu gampang banget ditindas orang. Dan inget pulang sekolah langsung latihan di kelas Ballet. Sebentar lagi juga ada lomba, gamau tau kamu harus ikut.”

Asa mengangguk pasrah. “Iyah, Mah.”

“Kalau gitu Asa pamit buat sekolah dulu.”

Kunti mengangguk samar tanpa menatap sang anak. “Setelah pulang sekolah dan kelas ballet langsung pulang. Gausah keluyuran kek anak nakal.”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu