Asavella 🍁29

93.5K 6.4K 199
                                    

Happy reading
ฅ^•ﻌ•^ฅ

“Masih sama.”

“Masih sama indahnya.”

“Berdiri dengan orang yang sama dan akan disambut oleh senja.”

Ucapan itu berhasil terlontar dari birai Brian di kala ia mengajak Asavella pada suatu tempat yang indah pada sore hari menjelang matahari terbenam.

Danau Sunter yang dipadu dengan langit biru—berkombinasi dengan pendaran warna oranye dan kuning. Dihiasi juga dengan awan kapas berwarna putih. Angin sore yang bersemeliwir membuat rambut Asa menari-nari.

“Seharusnya, bawa sepeda dan bawa Beebee ke sini. Lebih bagus, bukan?” ucapnya sembari membuka masker.

Siapa sangka, jikalau lawan bicaranya akan menanggapi ide bagus tersebut. Bisa dilihat jelas, kelopak mata indah itu memandang sendu langit dan tenangnya air danau. Ia juga sempatkan untuk terpejam sejenak merasakan sejuknya angin sore di tepi danau dengan sentuhan langit serta pemandangan gedung pencakar langit.

“Kapan bisa kayak gini tanpa melalui luka dulu?” Kelopak mata yang terhias bulu mata panjang nan letik itu terbuka ketika bersamaan mengucap kalimat tersebut.

Brian tersenyum. Mengajak Asavella untuk duduk di tepi trotoar untuk menikmati langit. Sesekali laki-laki itu mengulur tangan—mengusap puncak kepala Asavella di kala tangan gadis itu berusaha melepas maskernya.

“Kamu harus membuka lembar berikut dalam sebuah novel untuk melihat isi selanjutnya dan mengetahui ending ceritanya, bukan?”

Asa menoleh ke samping kiri untuk melihat wajah Brian. Tatkala dengan Brian yang memberi senyuman hangat kepada gadis tersebut.

“Kita enggak bisa melompati satu halaman novel yang menurut kita itu menyakitkan atau membosankan. Sama seperti hidup, semua butuh tahap dan kita harus melaluinya.”

Angin sejuk membuat suasana menjadi mendukung di antara mereka untuk berbincang. Senyuman terbit dari dua kurva milik Asa dan milik Brian.

“Mungkin, lembar dari halaman kemarin mengisyaratkan dari inti cerita seorang Asavella yang terluka dengan pilu yang menyayat. Tapi, kali ini, halaman ini, sudah dituliskan untuk tersenyum menikmati indahnya dunia walaupun hanya singkat.”

Asa menekuk kaki dan memeluk kakinya sendiri. Ia menatap danau kembali dengan dagu yang ia tompangkan pada kedua lututnya. Netra bulatnya menelisik tiap tempat secara perlahan-lahan dan bergantian.

“Gue masih pengen hidup, Bi,” gumam Asa yang samar seraya mengusap-usap lututnya.

“Gue pengen hidup lebih lama lagi, Bi.”

“Usia hanya angka, bukan?” tanya Asa seraya menoleh ke arah Brian yang sejak tadi tidak berhenti menatap lembut.

Brian mengangguk. Menyetujui apa yang gadis itu ucap.

“Gue juga bisa mati kapan saja, bukan?"

"Lantas, kenapa mereka meminta kematian gue dan meninggalkan harapan satupun yang belum terwujud?”

“Bahkan, gue sudah terlalu abadi merasakan luka. Menangis bersinggah trauma dan tenggelam dalam air mata.”

“Susah juga ya, mencari kebahagiaan. Beda dengan mencari luka, justru terasa mudah. Tanpa dicari juga luka itu datang.”

Gadis itu mencoba tersenyum tapi terasa susah seraya merapikan anakan poni. Ia memutuskan menunduk. Memainkan telunjuknya pada sepatu bewarna pink pastel.

“Gue udah mati rasa dengan rasa sakit, Bi. Tapi … gue kalau dewasa harus menikah, bukan? Tubuh gue terlalu ini, telalu penuh oleh luka. Apa … gue bakalan terlihat cantik kalau pakai gaun nikah yang terbuka?” Kalimat terakhir itu refleks keluar dari birai Asa.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now