Asavella 🍁42

84.6K 7K 728
                                    

"Udah masukin berapa cewek sampe keringetan gitu?"

Suara keras yang menyapa untuk memulai suatu dialog itu dengan kekehan samar membuat laki-laki yang baru saja melempar bola basket ke ring dengan begitu sempurna berhasil memberhentikan aktivitasnya sejenak.

Ia memantulkan berulangkali bola berwarna oranye tua dengan garis hitam sembari terkekeh kecil ketika mengenali suara laki-laki dan hanya melihat dari mata ekor sebelah kanannya.

"Gue main basket. Bukan mainin cewek. Masih ada hati yang gue jaga," sahut Brian sopan yang kemudian berbalik badan dan mendapati sosok Tio Mahardika-sahabat paling dekat diantara yang lain-yang kini mengangguk di mana ia juga melihat bibirnya terdapat batang permen putih kecil.

"Menjaga hati mana yang lo bicarain, bro?" Alis Tio terangkat satu dengan senyum sopan. "Sosok Jysa yang lo kenal 10 tahun lalu atau sosok Asavella yang menjadi akhir dalam sebuah cerita?" tanya santai Tio yang kemudian merajut beberapa langkah untuk mendekat ke arah Brian.

"Jika kebanyakan kata mengatakan, orang di masa lalu pemenangnya, tapi di sini, lo bahkan membuktikan, jika orang barulah pemenangnya," lanjutnya dengan sebuah dialog sederhana yang bisa disimpulkan maknanya begitu dalam.

Ya. Dua laki-laki itu tengah saling bertemu pada lapangan basket yang tidak jauh dari sekolahan mereka. Yang di mana lapangan basket itu menjadi tempat bermain basket secara umum. Ini bukanlah kebetulan, manakala sosok Tio Mahardika tidak sengaja lewat dan melihat segerombolan anak basket sedang latihan di sana.

Ia juga menemukan sosok Brian. Brian Claudius yang di mana adalah saingan terberatnya untuk mendapatkan Asavella Skyrainy. Dengan penuh sabar, laki-laki itu memilih berdiam sejenak-kurang lebih satu jam lebih untuk menunggu para anak basket mengakhiri latihannya.

Brian terdiam seribu kata ketika kalah kata dan tidak bisa menjawab.

"Gue masih sayang Jysa. Tapi hati gue cinta Asavella," gumam samar sosok Brian namun terlihat tegas pada tiap katanya.

Tio yang mendengar langsung mengernyit dengan gelengan samar. "Cuma cowok gak ngotak yang enggak punya pendirian dengan perasaannya."

Brian mengernyit balik dengan gelengan samar juga dan memejam mata singkat. "Emang lo punya pendirian?

"Lo jauhi Aca gue tanpa sebab, lo buat luka dengan kebencian secara tiba-tiba tanpa alasan. Lo, laporin Aca gue ke kepala sekolah. Lo tau fatalnya apa? Tangan ringan Baraconda membuat kepala Aca pecah. Berapa jahitan lo enggak bakalan tau. Di tengah hujan deras cewek itu merintih meminta berulang kali kematiannya."

"Kita sama-sama jahat, jangan salahkan satu sudut saja," final Brian dengan nada yang menginterupsi.

Tio terjebak dengan tiap kata Brian. Tak mengelak. Itu benar kenyataan. Kebodohannya yang membully Asa tanpa sebab hanya untuk menenggelamkan rasa cintanya. Napas Tio merasa sesak jika mengingat kembali.

Ia memang melihat Asa melihat merintih di tengah hujan malam-malam di kala itu. Namun, Tio hanya bisa memandang dan kemudian pergi.

"Tapi ... gue udah ungkapin alasan gue kenapa gue bully Asa," lirih Tio.

"Okey. Lo udah ungkapin semua itu ke Aca. Gue tau, Aca pasti nerima kejujuran lo bahkan gadis payah itu juga maafin lo, 'kan? Tapi, apa lo bisa mengembalikan posisi Aca di kelas unggul? Lo bisa kembalikan kepala Aca tanpa jahitan?"

"Gue prihatin sama lo," sambung Brian yang kemudian menghela napas pelan melalui mulut membuang bolas basket dengan kasar tepat pada dada Tio.

"Gue juga prihatin sama lo, Bri," tanggap Tio ketika berhasil menangkap bola yang mengenai dadanya begitu keras dan kemudian melempar kembali pada arah Brian.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now