Asavella 🍁22

85.1K 6.8K 420
                                    

Ingin menghilang dari dunia dan kembali ke sang pencipta untuk mengadu seluruh luka yang tak mampu ditampung dalam hati mungil penuh kelabu disertai pedihnya rasa.

Suara tangis harus dibisukan di setiap pelajaran. Apalagi hari ini presentasi biologi. Asavella diam di sebelah Bagus dan tidak menjelaskan satu materi yang dimana itu gilirannya untuk mempresentasikan—namun terjeda untuk beberapa menit. Hingga gadis bule lokal tersebut turun tangan untuk mendekati Asavella.

“Ca, kenapa? Sakit?” bisik Keci seraya mengusap punggung Asa.

“Ini kenapa Asavella diam?" Sekali lagi Bu Dewi bertanya.

"Apa dia tidak ingin nilai? Ingat, waktu kalian hanya lima belas menit. Lima menit untuk presentasi dan sepuluh menit menjawab pertanyaan teman kalian."

"Anjir berasa ikut MasterChef, waktu kalian tinggal lima belas menit. Siap cep!" gerutu Bagus dengan kepolosan  tanpa melihat situasi dan kondisi.

"Kamu bisa diam atau point' nilai kelompok kalian hangus," hardik Bu Dewi di mana Bagus hanya mengiyakan.

"Jikalau salah satu anggota kalian tidak bekerja dalam tim, nilai kalian kosong. Karena ini bukan tugas individual. Satu tidak dapat nilai yang lain juga,” info Bu Dewi yang memperingatkan kelompok Asavella yang tengah membahas tentang Gerak Manusia.

Netra Asavella hanya menatap satu sudut pada sosok laki-laki yang sedang menghisap permen chupa chups. Itu sudah menjadi ciri khas sosok Tio. Mereka saling tatap muka. Bahkan netra Asa mencoba bertanya. Kenapa? Kenapa Tio gini?

“Ca, giliran lo jelasin materi,” gumam samar Keci sekali lagi namun tidak membuahkan hasil.

Keci bertanya-tanya kepada yang lain, namun yang lain juga tidak tahu apa yang sedang terjadi kepada temannya.

“Nyusahin bener temen lo pada, buang aja dari kelompok lo!” sinis Tio yang bersandar pada kepala kursi.

“Bacot lo, banci!” timpal Bagus.

“Iya banyak bacot. Main adu kepala sekolah, banci! Nggak sekalian aduin pemilik yayasan sekolah ini,” sahut Dodit membuah Tio ingin menghantamnya menggunakan kursi, namun ia menahan emosi karena ia tidak ingin beradu argumen dengan teman-teman pembunuh.

“Asavella, kamu jangan nyusahin kelompok kamu, ya. Kasihan mereka dan kasihan kamu juga kalau kamu enggak dapat nilai.”

“Entah nyusahin banget,” timpal Mutiara sembari memutar kedua bola.

"Manusia kek Vella tuh, enggak perlu dikasihani. Cari sensasi tuh jangan di sini kali, Vel."

Asa melirik Mutiara. “Maksud lo? Gue nyusahin apa? Sensasi apa?”

“Lo enggak nyadar? Lo itu beban! Lo tuh kurang kasih sayang atau gimana, sih? Kerjaan lo kalau enggak bikin masalah bikin beban!” ucap Mutiara sembari menatap sinis.

“Kenapa jadi ribut, sih!” celetuk Dodit—yang kemudian menunjuk Mutiara. “Heh, cabe! Diem lo.”

“Dia enggak nyusahin, bu. Saya rasa, Aca lagi enggak fit,” jawab Harta yang meyakinkan Dewi.

“Ngeles mulu kek motor. PACAR DISAKITIN, PEMBUNUH DI AGUNGIN? TUHAN DIA, TA?” sinis Tio sembari mengangkat satu alis.

“Sadar kali, dia tuh pemain yang ahli dalam kepalsuan! Lo semua tuh, ditipu sama topengnya!” teriak Tio dengan senyuman bengis yang terpampang pada wajahnya ketika menatap Asavella.

“Entah, Harta lo di pelet apa sama pembunuh paket komplit pembully sadis!” timpal siswa lain.

“Kasihan Mutiara, di kacangin! Yang cari sensasi sampek masuk telivisi dihukum mati ayahnya sendiri malah dilindungi. Waras?”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang