Asavella 🍁60

78.7K 5.5K 229
                                    

Buku-buku berhamburan tak beraturan. Selimut, guling bahkan bantal sudah melayang —mendarat ke sana kemari. Membanting vas hingga menimbulkan serpihan kaca.

Membanting foundation yang ia tabung hanya untuk menutup—menyamarkan bekas luka matanya. Teriakan pilu penuh sesak begitu kencang menyayat bagaikan hantaman yang bertubi-tubi tiada henti.

Bahkan sesekali memukul diri sendiri—menarik kuat rambut pendek dan memaki-maki visual yang terlihat membuatnya semakin benci dengan dirinya.

Ini sudah pukul 02.00 dini hari. ia tidak tidur sedari tadi.

Teriakan Riri—Ibu Yuga dan Brian tenggelam dan terabaikan oleh laki-laki yang tengah bergelut dengan dirinya sendiri di dalam sana. Kekhawatiran Riri mulai semakin menjadi di kala semua mulai terbongkar.

Riri mencoba berulang kali memanggil—mengetuk sekuat tenaga pada kamar yang terkunci rapat tanpa memperbolehkan siapapun masuk ke sana.

Suara kekecewaan pada diri Yuga semakin menjadi-jadi tak terkendali.

Bagaimana laki-laki tersebut mengurung diri dan menyiksa candu tangannya dengan garis-garis pada tiap lengannya. Menumpuk bekas luka yang mengering dan menghiasi kembali dengan sayatan tipis-tipis menggunakan jarum peniti.

Satu goresan tipis. Sangat candu.

Dua tekanan menimbulkan darah.

Diakhiri gesekan keras berkali-kalo hingga menghasilkan sembilan sayatan yang untuk kesekian kali menghias di lengan kanan dan kiri secara bergantian.

Berulang kali seusai melakukan hal bodoh tersebut— ia kini menekan banyak tombol—menempatkan layar ponsel pada daun telinga kiri. Ini sudah yang ke 22 kali sosok seberang sana tidak bisa dihubungi. Bahkan satu pesan hanya menampilkan satu tanda centang. Profil sang gadis yang terhias dengan foto kucing kesayangannya kini tak lagi terpampang.

“Angkat, angkat, angkat,” gerutunya berulang kali penuh harap memohon seraya tangan lain menggenggam erat jarum peniti yang tidak ia tutup kembali.

Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

“ANGKAT ASA!!!” geram Yuga mengeras pada layar telepon yang redup manual—membuang kasar dan membuat layar ponsel tersebut retak untuk kesekian kali.

“Angkat telepon gue,” lirihnya memohon dan menekuk tubuhnya. “Sekali aja,” tambahnya yang kali ini ia menunduk—menekuk lutut untuk sebagai pelukan paling sakit.

Kepalanya terangkat. Ketika ia merasa pintu kamar ada yang tengah berusaha mendobrak. Dengan tubuh yang lemas—ia berusaha berdiri membuka kunci dan menarik ganggang pintu ke bawah.

Bagaimana sosok laki-laki itu mendapati wanita yang berstatus menjadi seorang ibu beranak dua memasang wajah penuh cemas.

“Bun? Ada apa?” Laki-laki tersebut maju satu langkah. Meraih-menyentuh dingin pipi sang ibu.

Riri menarik senyum paksa dengan dua air mata terjun bebas. Ia mencoba memegang lembut punggung tangan anaknya yang memegang pipinya. “Kamu juga mau ninggalin bunda sendiri, kak?”

Yuga tidak menjawab. Jika ia berkata jujur, ia akan membuat wanita yang melahirkannya itu  menangis.

“Kenapa bunda menangis? Jangan nangis, kakak punya salah, ya? Maaf ya, belum bisa jadi anak yang buat ibunya bahagia,” lirih Yuga menghapus air mata Riri dan disambut gelengan kecil Riri.

Sesak disertai mata yang memanas membuat Riri tidak bisa menahan air mata.

“Yuga,” panggil riri sekuat tenaga menghapus air mata sang anak walaupun terlihat jelas laki-laki tersebut tengah memasang wajah baik-baik saja.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now