Asavella 🍁32

79.6K 7.2K 441
                                    

Teriakan nyaring memanggil nama gadis yang tengah terlelap pada tiap koridor rumah sakit ketika brankar mulai di dorong begitu cepat dengan dua petugas membuat laki-laki itu ikut menggenggam erat tangan kanan yang tidak sama sekali membalas genggamannya.

Tangan dingin yang begitu pucat mulai terlepas lemah dari genggamannya. Ketika dua petugas tersebut masuk dalam UGD. Dan membuat sosok laki-laki itu tertahan di luar sendiri.

21.09 WIB.

21.09.2020

Waktu menunjukkan sudah larut malam. Belum ada satu petugas ataupun dokter yang keluar dari ruangan menakutkan itu.

Jika saja diperbolehkan, Brian ingin terus berada di samping Asavella dan memastikan ia benar-benar baik-baik saja.

Tiba-tiba saja, seorang perawat berlari cepat seusai keluar dari ruang UGD. Perawat itu melewati Brian tanpa mengatakan sepatah kata yang menguatkan sosok laki-laki yang menanti-nanti hasil terbaik. Tak lama juga, perawat lain keluar dan kali ini Brian berhasil mencegahnya.

“La-langit,” panggilnya tergagap. Hanya nama yang ia sebut, matanya memiliki antusias untuk menerima hasil terbaik dari perawat. Tatkala, perawat itu menatap datar dan memberikan ponsel pasien beserta kalung dan anting-anting yang di pakai Asa.

Tangan Brian gemetar hebat ketika menerima. Pikirannya sudah acak aduk tak karuan. “E-enggak. Langit enggak hancur. E-enggak.”

“Itu milik pasien. Pasien sekarang tengah dalam penanganan, dan dia kehabisan begitu banyak darah yang mengalir di bagian keningnya.”

“Dua gigi geraham bagian bawah sebelah kanan lepas. Serta, sobek dalam pada dagunya. Banyak lebam di tubuhnya juga. Ini … bukan korban kecelakaan, 'kan?” info perawat tersebut yang melihat laki-laki itu mendecak kesal—meremas ponsel Asavella yang bisa dibilang masih aktif.

“Detak jantung sempat berhenti ketika kami akan memasangkan alat bantuan pernapasan. Sebab anda juga bilang, pasien sempat tidak bernapas.”

“Tapi tenang, detak jantungnya kembali berdetak walaupun begitu lemah.”

Brian yang mendengar terasa hancur. Seakan harapannya pupus mendengar keterangan.

“Maaf, apa luka garis lurus di mata anda, juga akibat kecelakaan?” sambung perawat tersebut yang kini ditarik perhatian dengan bekas luka vertikal dari ujung alis hingga pipi bagian bawah.

“Ini luka lama. Luka ini tidak sebanding dengan luka gadis di sana. Justru aku pelaku dibalik beberapa luka batinnya juga.”

Ucapan Brian membuat perawat itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia kebingungan dengan maksud laki-laki dari kerabat korban.

“Dia korban dari dunia yang tidak mengizinkannya bahagia, termasuk aku,” lirihnya yang membuat kerutan pada dahi pada perawat tersebut.

“Apa anda keluarga korban? Jika bukan, tolong telepon pihak keluarganya atau orang tuanya.”

“Orang tuanya masih ada dua-duanya. Tapi kasih sayang dan cintanya mereka untuk gadis itu, sudah mati duluan. Mereka tidak peduli, anaknya hidup atau tidak,” balas Brian ketika melihat layar ponsel Asa menyala benderang dengan nama yang tertara di sana.

“Aku bisa menelpon keduanya, tapi aku tidak yakin mereka akan percaya dengan ini. Sebab, mereka akan berkata, itu cuma luka bukan tubuh yang hancur menjadi kepingan.”

Perawat tersebut hanya diam dan kemudian masuk kembali pada ruangan yang menakutkan itu. Di sisi lain, Brian diam sejenak dan kemudian dengan cepat juga Brian mengangkat telepon dari ponsel Asa terus bergetar.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now