Asavella ending?

89.5K 4.5K 505
                                    

Suara langkah kaki terdengar sangat santai tengah dirajut pada tiap lobby—lorong— di mana langkah demi langkah tersebut mulai berhenti sejenak. Dua ekor mata melirik tajam beberapa polisi menatap penuh dengan sorotan tajam.

Sosoknya kemudian berbelok ke kanan dan membaca papan tulisan yang merujuk ruang laporan. Di mana ia melihat beberapa polisi duduk tegap dengan layar komputer yang menyala benderang.

Satu polisi yang hendak pergi dari meja kerjanya diam. Sorot tajam menelisik bagaimana sosok remaja memakai topeng kelinci mulai duduk pada satu kursi yang menghadap pada meja kerjanya. Bagaimana juga, sebenarnya polisi tersebut tengah buru-buru untuk kasus hilangnya sosok gadis selama 3 tiga hari dan penemuan dua mayat serta dua korban gadis tengah teridentifikasi. Pihak rumah sakit dan dokter forensik telah memberitahu hasil otopsi di mana beberapa potongan pemilik tubuh juga telah ditemukan di salah satu rumah kosong.

“Bapak buru-buru, ya?” monolog topeng kelinci yang mulai membuka topengnya. Senyum sumringah yang lembut. Ia meletakkan topengnya pada meja polisi yang ada beberapa sekat kosong.

Visual yang terukir indah dengan bibir tebal terlihat seksi. Mata tajam dengan bulu mata lentik serta  gaya rambut di mana poninya terbelah dua. Senyumnya begitu tulus dan hangat.

Dua sampai tiga polisi yang berada di ruangan tersebut menatap penuh waspada. Bahkan pistol berisi peluru bius siap siaga.

Remaja pemilik topeng tersebut menoleh ke segala arah karena sebuah tatapan penuh waspada tengah membuatnya kebingungan. “Kenapa? Aku hanya ingin bercerita. Tidak boleh, ya?” tanya remaja penuh polos tersebut.

“Aku kemari karena aku ingin bercerita dan melaporkan pelaku dari semua kekacauan, kematian dan pembunuhan,” ucap laki-laki berwajah manis mata elang yang begitu tajam dan bibir merah merona alami. Ia mencoba merapikan poni rambut yang terbelah dua itu sebab sedikit berantakan.

Tidak menolak.

Polisi yang menjadi lawan bicaranya langsung  memilih duduk dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri serta punggung yang sejenak ia sandarkan pada kepala kursi.

Menatap bagaimana sekarang laki-laki remaja mengeluarkan beberapa benda-benda yang telah di kemas rapi menggunakan plastik. “Ini, ini dan ini.”

Betapa mengejutkannya apa yang telah dibawa laki-laki remaja tersebut.

“Apa ini?” tanya polisi tersebut. “Anak burung? Sayapnya patah?”

Ya. Laki-laki itu mengeluarkan seekor anak burung yang terbungkus koran dengan salah satu sayap yang patah. Tapi ia tidak ingin membahas anak burung tersebut terlebih dahulu.

Satu alis laki-laki tersebut naik. “Ini yang anak buah mu cari untuk menyelidiki siapa pelaku itu bukan? Ini semua terkemas apik. Bahkan sidik jarinya masih ada di benda-benda ini.”

“Aku tidak ada waktu lagi. Aku ke sini ingin memberikan semua ini kepadamu dan membuat laporan atas pembunuhan yang telah aku sengaja dan penculikan yang membuat sosok gadis hilang.”

Tiga polisi itu sempat terdiam merenung.

Mencerna.

Namun tak lama dua pistol di arahkan tepat pada titik sosok laki-laki itu duduk. Dengan dirinya yang tenang hanya menghembuskan napas pasrah. Lalu ia berkata, “Aku tidak akan melakukan ini jika aku tidak dibully, dibuang dan dikucilkan,” lirihnya.

Polisi yang bisa menatap mata penuh dendam dan kekecewaan tersebut langsung mengangkat satu tangan—memberi kode—menyuruh kedua polisi menurunkan pistol mereka.

“Manusia tidak akan memahami perasaan orang lain, jika tidak merasakan penderitaan yang sama,” sambung dari remaja tersebut.

“Orang yang diam bukan berarti tidak memiliki lara dan dendam akan luka,” tegas laki-laki tersebut dengan mata penuh dendam yang terpendam. Ia menarik napas berat dan kemudian membuang perlahan lalu berkata. “Akan aku ceritakan, bagaimana seekor anak burung yang berusaha terbang tanpa sayap kanannya.”

ASAVELLA [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now