Wind in Laroa: White

404 42 9
                                    


Terdapat sebuah pohon apel yang berdiri di antara padang rumput dengan angin yang menderu kencang di Laroa. Pohon itu hanya sendirian, namun apel-apelnya tidak berhenti berjatuhan. Anak-anak yang bermain di sekitar sana akan memakannya sampai kenyang, atau justru langsung diseret orangtuanya pulang. Kenapa? Karena tidak jauh dari pohon itu, daratan terputus, digantikan dengan jurang yang mengarah langsung ke bebatuan karang di bawahnya.

Tempat itu memang indah, namun dicap angker.

Matahari berada tepat di atas kepala, muncul seorang gadis memakai jubah abu-abu. Napasnya sedikit terengah setelah berjalan cukup jauh. Dia memperhatikan pohon apel yang besar di depannya kemudian menoleh ke belakang. Tidak ada orang yang mengikutinya. Aman, pikirnya. dia langsung meletakkan ransel lalu duduk bersandar di pohon. Tersenyum, gadis itu pun membuka buku tebal yang dia curi belum lama ini.

Sungguh tidak adil jika orangtuanya hanya memperhatikan keempat putra mereka, dan mengabaikan begitu saja rasa ingin tahu yang besar dari Beatrix. Meskipun bukan anak yang akan meneruskan nama keluarga, Bea tidak mau hanya menjadi seorang istri yang diam saja di belakang suami. Dia ingin menjadi prajurit wanita, atau pun seorang gubernur yang sejauh pengetahuannya hanya ada satu orang wanita pernah memegang kedudukan tersebut di Laroa.

Saat asyik membaca, tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara raungan. Beatrix mengedarkan pandangan ke segala arah, namun dia tidak melihat apa pun. Apakah dia salah dengar? Baru saja dia membatin dan raungan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Gadis itu kemudian meletakkan begitu saja bukunya kemudian bergerak mengikuti arah suara tadi. Suaranya berasal dari bawah jurang.

Takut-takut, Bea melongok ke bawah. Gadis itu tercengang pada sesuatu yang dia lihat.

Seekor mirounga menjerit-jerit karena terjerat jaring nelayan. Panik, Beatrix langsung berlari memutar mencoba menemukan jalan yang mengarahkannya ke dekat hewan tersebut.

Sementara Beatrix berputar-berputar kebingungan, ternyata ada seseorang lagi yang mendengar jeritan kesakitan si Mirounga. Seorang laki-laki yang berpostur tegap dan tinggi berkulit pucat dengan rambut panjangnya yang diikat tinggi di atas kepala. Pupil mata laki-laki itu sungguh besar, mencakup dua pertiga dari matanya. Laki-laki itu memerhatikan gerak-gerik si Mirounga, namun dia tidak melakukan apa pun. Hanya kepalanya yang kadang miring ke kiri dan ke kanan.

Kira-kira setengah jam lamanya, barulah Beatrix sampai di situ. Dia bahkan kepayahan mengambil napas.

"Oh, kau makhluk yang malang!" serunya. Bea ingat dia membawa sebilah pisau kecil yang ada di ransel, tapi alangkah terkejutnya dia menyadari tas itu masih tertinggal di bawah pohon apel. "Oh, sialan ..."

Sambil merutuki kebodohannya sendiri, dia tidak sengaja melihat ke arah laki-laki tadi.

"Hei," sapa Bea ragu-ragu. "Apa kau punya sesuatu yang tajam? Pisau? Kita harus membebaskan dia!"

Laki-laki itu membalas tatapan Bea, tapi anehnya dia seperti orang asing yang tidak mengerti bahasa yang dipakai Bea.

"Kita harus membebaskan dia! Dia terluka!" seru Bea lagi.

Laki-laki itu tetap bergeming. Namun sedetik kemudian pandangannya beralih pada seseorang selain mereka yang datang menghampiri. Seseorang itu memunggungi Bea, berjalan mendekati si Mirounga. Tangannya mengulur menyentuh makhluk besar itu, lantas entah karena sihir apa, Si Mirounga berhenti memberontak. Tiba-tiba jerat yang mengekangnya musnah menjadi abu.

"Dia mengandung," kata orang misterius itu. Bea mengerjap. Suara seorang perempuan yang merdu seperti lagu. "Dia tidak takut kehilangan nyawanya, dia hanya takut kehilangan bayinya. Ya, dia tahu kalau dia sedang mengandung."

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now