47. Scar

6.1K 733 57
                                    

"Turnamen panah?"

Silvana mengangguk membenarkan tebakan Fiona. Saat itu waktunya istirahat bagi sebagian siswa Ruby. Fiona yang datang atas permintaan Dalga kemudian menemukan Silvana berada di tanah lapang asrama Ruby. Gadis itu berkutat dengan busur dan panah untuk berlatih. Beberapa siswa Ruby mengajarinya. Entah karena saking halus hingga kurang tegas, atau pemahamannya yang kurang, Silvana bahkan masih belum bisa menarik tali busur.

"Hukuman karena aku tidak pernah datang ke kelas," ujar Silvana lalu mengunyah seiris manisan buah yang dibawa Fiona.

"Ah, anda tidak perlu mengkhawatirkan apa pun kalau begitu," kata Fiona. "Ada Tuan Dalga dan Tuan Cyde yang akan membicarakan ini pada kepala sekolah."

Silvana berhenti mengunyah lalu menatap Fiona lekat.

"Aku sudah bilang kau bisa memanggilku dengan nama saja, Fiona," ucapnya.

"Anda sedang mengalihkan topik."

"Itu mauku. Atau kau lebih suka diperintah?"

Ah, Fiona tidak memperkirakan posisinya akan jadi seperti ini. Dia sadar kalau Silvana bisa sewaktu-waktu berlaku seenaknya. Keberadaan gadis itu penting demi hubungan Vighę dan Raveann. Dan layaknya bangsawan yang mengerti akan status dan kedudukan, Silvana tahu bagaimana cara mendongakkan kepala. Fiona hanya tidak menyangka gadis itu memakai kelebihannya untuk memperlakukannya seperti ini.

Bukan perlakuan yang buruk sebenarnya, tapi..

"Kupikir kita berteman ..." Silvana menggumam—amat pelan, tapi tetap bisa didengar. Wajahnya muram sambil memisahkan jujube kering dari bijinya.

"Baiklah," putus Fiona setelah menghela napas dalam-dalam. "Silvana."

Gadis itu tersenyum lalu memasukkan sebutir jujube tadi ke mulut.

"Kau tidak perlu berlatih memanah jika memang tidak pernah melakukannya. Bergabung ke turnamen dan minimal tersaring di semifinal itu terdengar mustahil."

"Tapi aku mau melakukannya." Silvana mengerjap menatap Fiona. "Aku hanya perlu dilatih."

Fiona hendak mendebat lagi, tapi Silvana tidak mengacuhkannya. Ketika jam istirahat usai, Silvana mengajaknya keluar asrama. Padahal Fiona harus kembali ke Cith. Tapi layaknya seorang anak yang butuh diawasi, Fiona pada akhirnya tidak bisa membiarkan Silvana keluar dari gerbang Gihon sendirian.

Tidak disangka, sewaktu di pertengahan jalan saat mereka hampir mencapai pusat kota, Kia muncul. Laki-laki itu juga masih mengenakan jubah Zaffir. Sepertinya dia tidak sempat berganti baju. Apa mungkin telepati keduanya sekuat itu sampai-sampai bisa terdengar dari jarak jauh?

Jantung Fiona bergemuruh tanpa bisa dikendalikan. Betapa tidak. Sosok Kia menjulang persis di sebelahnya!

"Kenapa kau keluar Gihon? Apa putri yang menyuruhmu?" tanya Fiona.

Kia menoleh padanya lalu menggeleng singkat. Lagi-lagi hanya ada satu jawaban: ya atau tidak. Fiona kehabisan akal bagaimana caranya mengorek isi hati Kia. Laki-laki itu terlalu "tidak terbaca".

Perhatian mereka berdua beralih ketika tiba-tiba Silvana berseru. Gadis itu berlari. Langkahnya berhenti di depan sebuah toko senjata. Bukan senjata yang tampak menakutkan. Penjualnya hanya memajang belati dengan bermacam-macam warna sarung, ketapel, dan panah. Untuk busur dan panah tampaknya mendapatkan perhatian khusus. Kia memperhatikannya sekilas dan menyadari jika kayu yang digunakan berkualitas bagus. Semuanya dikerjakan tangan yang terampil.

"Aku butuh busur dan panah untuk berlatih bukan?" Silvana menoleh pada Fiona dan Kia bergantian. Dan tanpa menunggu pendapat mereka, gadis itu sibuk memilih sambil mengambil dua busur lalu membandingkannya. Napas Silvana tertahan begitu melihat satu busur panah yang paling mencolok di dalam toko.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now