40. Autumn

6.4K 723 19
                                    

Setelah merasa cukup beristirahat, Var berniat melanjutkan perjalanan mereka ke Taruhi. Dia pun membungkuk supaya Silvana bisa naik punggungnya. Sebelum Var melompat, gadis itu bertanya mereka akan pergi ke mana. Sialnya, Var yang tidak peka menyebut Taruhi. Kontan hal itu membuat Silvana melonjak-lonjak bahkan menghujamkan kuku tangannya ke punggung Var yang luka.

Jadilah pertengkaran kali ini tidak terhindarkan.

"Kenapa kau membawaku ke Taruhi?!"

"Kau tidak bisa terus-terusan ada di benteng! Apa kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku tidak membawamu pergi?!"

"Apanya yang jauh lebih buruk dari dikurung selama waktu yang tidak pasti di tempat penyegelan macam itu?!"

"Itu kalimat ucapan terimakasih setelah percobaan bunuh dirimu tadi? Diam saja sudah lebih dari cukup dan kau tidak perlu menyusahkan siapa pun lagi!"

"Menyusahkan?!" Silvana membalas tidak kalah sengit. "Siapa yang menolak mendengarkan sewaktu aku memperingatkanmu tidak pergi ke pulau kecil itu semalam?!"

Var mengusap wajahnya—frustasi. Didera kekesalan yang mencapai ubun-ubun, Silvana berbalik lalu menjauh dari Var dengan kaki yang sengaja dihentakkan. Dia juga sengaja mengeraskan gerutuan hingga Var bisa mendengar.

"Berhenti!" suruh Var tapi tentu saja tidak digubris. Menghela napas, dia pun terpaksa mengikuti gadis itu saat melewati ilalang juga sulur-sulur yang menggantung. Belum memasuki hutan Am saja mereka sudah susah bergerak.

Ikatan rambut Silvana hampir tidak berbentuk. Dia terkesiap saat sebatang ranting tidak sengaja membuat beberapa helaiannya tersangkut. Ikatannya terlepas, menggeraikan rambut hitamnya yang legam hingga menjuntai hampir menyentuh permukaan tanah. Silvana panik. Dia mencoba menarik-narik rambutnya, namun itu justru memberikan efek buruk bagi luka di leher. Lagi-lagi garis-garis darah merembes ke pembalut luka itu.

Var terdiam. Setelah sempat menghentikan langkah, dia pun mendekati Silvana. Gadis itu masih memberikan rona cemberut. Akan tetapi dia menurut saat Var memutar bahunya ke depan supaya bisa melepaskan helaian kusut rambutnya dari ranting.

"Duduk," perintah Var setelah menggiring Silvana ke akar salah satu pohon yang melesak tinggi di atas tanah. Laki-laki itu dengan sabar mengumpulkan helaian rambut panjang Silvana dalam genggaman kemudian menggulung serta mengikatnya. Teksturnya yang halus dan jatuh membuat Var lebih mudah merapikannya biarpun hanya disisir jari.

"Var.." Silvana memanggilnya dengan sedikit mendongak.

"Apa?"

"Aku lapar."

Hening. Var juga mengakui dalam hati jika perutnya terasa perih. Mereka tidak makan apa pun sejak semalam.

"Aku tetap tidak akan ke Taruhi.. ataupun kembali ke Vighę," kata gadis itu pelan. Var tidak perlu menghadapnya untuk tahu jika pandangan Silvana menerawang sedih. "Bertahun-tahun aku tumbuh dan dibesarkan dalam paviliun, tidak sekali pun aku mengeluh. Tapi sekarang setelah kekuatanku tersegel.. aku ingin pergi ke mana pun tanpa takut akan melukai orang lain."

Silvana memutar tubuhnya hingga dia bisa mendongak memandang Var.

"Apa kau takut padaku, ataukah.. khawatir terjadi sesuatu pada negerimu karena aku ada di sini?" tanyanya. "Apa dengan mengirimku ke Taruhi kau bisa tenang? Aku tahu akulah yang telah mengarahkanmu ke pulau itu.. meskipun aku telah berusaha menghentikanmu."

Var berjongkok supaya bisa menatap Silvana dalam satu garis lurus. Kedua tangannya menangkup wajah gadis itu, juga merasakan tekstur pembebat yang membalut lehernya. Silvana berkedip pelan. Dia menunduk lalu memejamkan mata.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now