37. Fall Down

6.3K 752 76
                                    

Fiona duduk di tepian sungai sambil melempar kerikil ke air. Sesekali dia melirik sebelahnya, di mana Kia duduk bersandar pada batang pohon. Mereka berdiam sejenak, membiarkan kuda Kia menikmati segarnya air sungai Winaum. Sementara Fiona gelisah, Kia tampak sedang tertidur. Bagaimana mungkin dia bisa setenang itu setelah tujuan awal mereka gagal?

Mendesah tidak tahan, Fiona lalu mendekat pada Kia. Keningnya berkerut saat mengamati seksama wajah laki-laki itu—menerka dia memang tidur atau tidak. Meski langit telah menggelap, namun ini belum waktunya untuk tidur.

Rambut Kia berwarna abu-abu, tapi tidak terkesan kusam—sebaliknya, mampu memantulkan sinar. Helaiannya panjang sedikit melewati bahu. Angin membuatnya meliuk lembut menggelitik garis rahang laki-laki itu. Ah, bulu matanya panjang. Ketampanannya rupanya bertambah berkali-kali lipat saat dia tertidur.

Sadar jika tengah diperhatikan, Kia membuka matanya. Lagi-lagi mata zamrud itu mampu menyumbat saluran pernapasan Fiona. Berdehem, gadis itu pun menyilangkan tangan.

"Apa kita akan memberitahu Tuan Perdana Menteri atau tidak?" tanya Fiona. "Hanya memberitahu jika putri baik-baik saja. Tidak masalah jika tidak membawanya bukan? Biarkan mereka yang melakukannya."

Kia berkedip pelan. Lagi-lagi Fiona harus tersenyum masam menerima jawaban tersirat yang mengambang.

"Bukan berarti aku tidak mempertimbangkan perasaannya..," ujar Fiona setelah menghela napas panjang. "Tapi imbas dari keputusannya itu tidak menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi dia ada di Kith. Hubungan Kith dan Vighę akan semakin runyam bukan?"

Dalam hati Kia setuju, tapi tetap saja dia selalu bimbang jika teringat ekspresi gadis itu saat ditemukan. Seolah-olah Kia adalah nelayan yang menebar jaring, sedangkan Silvana merupakan ikan yang berusaha lepas dari jerat. Apa pun keputusan yang Kia ambil, tetap saja tidak ada yang bagus. Kia bahkan tidak tahu apa yang tengah dirinya tunggu.

Semilir angin dingin kembali. Hembusan napas Fiona seketika menjadi uap samar. Kia mendadak mengerjap cepat dan dahinya berkerut. Udara menghantarkan sebuah sinyal hingga laki-laki itu kontan bereaksi. Fiona pun menatapnya bingung.

"Ada apa?" tanyanya.

Tidak hanya menampakkan tingkah aneh, Kia juga meringis. Pecahan berlian di punggungnya bergetar hingga terasa menusuk-nusuk.

"Hei, ada apa?" Fiona mengulang pertanyaannya dengan cemas. "Haruskah kita singgah ke Hăerz?" Tatapannya kemudian terpaku secara tidak sengaja ke punggung Kia. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang berkilauan. Fiona hendak menyentuh punggung laki-laki itu namun segera ditampik.

Keduanya bersitatap singkat.

Tanpa memberikan petunjuk apa pun, Kia melangkah cepat ke kuda. Fiona bergegas menyusul. Kia langsung menarik tubuh gadis itu ke punggung kuda, di belakangnya. Dan tanpa menunda lagi, mereka beranjak dalam kecepatan tinggi.

***

Benteng pesisir berubah sunyi. Separuh lebih prajurit telah dikerahkan untuk berlayar ke laut lepas. Prajurit yang tersisa kurang dari seratus orang. Mereka pun berjaga sambil menerka kabar apa yang akan didapat nanti. Mungkin saja prajurit yang kembali akan membawa segelintir perompak yang pada akhirnya dipenggal. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki firasat buruk—kecuali gadis yang tengah dikurung itu.

"Siapa kau?" Terdengar prajurit yang berjaga di depan gerbang bertanya dalam nada tinggi. Pertanyaan itu sayangnya hanya disusul dengan kesunyian.

Gerbang kayu berlapis itu kemudian diderek. Prajurit yang ada di dalam berjengit, mengira mereka kedatangan tamu penting: mungkin Ratraukh atau Saura. Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam terjun bebas dari atas dinding benteng yang kokoh. Tubuh yang kaku itu menimpa atap posko yang terbuat dari kayu—sampai-sampai papannya terbelah. Nyatanya bukan Ratraukh ataupun Saura yang datang. Mereka dikejutkan oleh seorang penyusup!

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now