9. Whisper

12.3K 1.1K 16
                                    

Dalga mengetuk-ngetukkan kuku telunjuknya di atas meja. Sedikit pun dia tidak bisa berkonsentrasi hari ini. Semuanya gara-gara kejadian kemarin. Arena bertarung Zaffir rusak parah. Sepertinya butuh waktu dalam hitungan minggu sebelum tempat tersebut selesai diperbaiki. Cyde memang tidak mengatakan apa pun, tapi Dalga tahu kalau laki-laki itu gusar bukan main.

Kenapa ada makhluk kegelapan yang bisa menerobos masuk ke tempat yang telah disucikan? Apakah ada celah kesalahan pada ritual sehari sebelumnya? Tapi seingat Dalga, Fiona telah melakukannya dengan amat baik. Jika letak kesalahan bukan terletak pada gadis itu, lantas apa? Siapa yang mampu menghancurkan mantera perisai pelindung? Pasti ada seseorang yang mengarahkan monster itu untuk mengacaukan acara kemarin.

Dalga memijit pangkal hidung. Kepalanya mulai berdenyut. Saat pintu ruangan itu diketuk, pandangan Dalga beralih.

"Masuk," sahut Dalga.

Pintu dibuka oleh seorang gadis yang juga siswa divisi spiritual. Rautnya sedikit keruh saat menghampiri Dalga.

"Fiona menghilang," katanya memberitahu. "Kami tidak bisa menemukannya di mana pun."

"Sejak kapan?"

"Setelah kejadian kemarin. Dia merasa telah lalai melakukan ritual pemberkatan."

Dalga menghela napas panjang. "Aku mengerti. Aku akan membantu mencarinya."

Gadis tadi menunduk sekilas kemudian berbalik pergi.

Tidak ada yang bisa menemukannya... Dalga membatin. Dia bisa memahami perasaan Fiona sekarang ini. Gadis itu pasti malu, kecewa dan sedih di saat yang bersamaan saat makhluk kegelapan kemarin muncul. Tapi bukan ide yang baik jika Dalga berusaha menemukannya saat ini juga untuk kemudian membujuknya kembali. Kata-kata hiburan justru hanya akan membuat harga dirinya terluka.

Dalga pun memutuskan dalam hati kalau dia akan memberikan apa yang Fiona butuhkan sekarang: waktu untuk sendiri.

***

Di ruang makan Emerald, beberapa anak mengarahkan tatapan mereka ke seseorang yang duduk di tengah-tengah. Gadis itu sedang sendirian. Tidak ada anak yang ingin duduk di sebelahnya. Sementara yang lain mendapatkan porsi makan siang yang sama dengan hari-hari biasa, milik gadis yang dicap aneh itu tampak menggunung. Satu nampan tidak cukup menampung makanannya karena saking banyaknya. Pelayan pun sampai bolak-balik memberinya piring tambahan.

Ana datang tidak lama kemudian. Gadis itu terbengong-bengong sendiri melihat makanan yang menumpuk di depan Quon. Dia tampak ragu dengan pandangan siswa lain. Meski begitu pada akhirnya dia duduk di depan Quon.

"Kau lapar sekali ya?" Ana sampai meringis melihat Quon makan sangat lahap.

Belum juga makanan yang membuat pipinya menggembung ditelan, Quon mengambil setusuk besar daging dan menjejalkannya ke mulut. Sembari mengunyah, dia berkedip-kedip polos menatap Ana.

"Sudah merasa baikan sekarang?"

Quon mengangguk.

"Apa kau tahu bagaimana khawatirnya aku saat kau menghilang? Kau pergi ke mana saja? Untung saja tabib urung memarahimu. Semuanya juga tahu kalau kau murid yang paling bandel di sini."

Masih dalam keadaan mulut penuh, Quon tersenyum meringis.

Mendadak dalam sekejap, seisi ruang kasak-kusuk. Kecuali Quon, mereka semua menoleh ke arah pintu masuk di mana beberapa orang hadir. Ren selalu menjadi pusat perhatian saat terlihat di Emerald. Bukan hanya karena dia kepala asrama, kharisma yang Ren miliki juga selalu mampu menghipnotis siapa pun—khususnya para gadis. Kali ini untuk pertama kalinya dia bergabung di ruang makan sejak upacara penerimaan siswa baru Gihon.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now