3. The Diamonds

19.3K 1.6K 24
                                    

Rife heran saat Var mengajukan diri menemani saat keluar asrama. Meski semua siswa Gihon diharuskan untuk tinggal di asrama akademi, tidak ada aturan yang memaksa mereka mendekam terus di sana. Para siswa diperbolehkan keluar selama tidak mengganggu pembelajaran dan lewat dari jam yang ditentukan. Paling-paling siswa yang keluar hanya bersliweran di pasar atau mencari suasana baru di bar.

Untuk Rife yang selalu sibuk mengunyah, dia harus selalu menyiapkan stok makanan di kamarnya atau tubuhnya lemas. Var nyaris tidak pernah melihat tangannya kosong. Biasanya laki-laki itu selalu membawa sebutir apel atau sepotong roti. Kali ini mereka keluar dan berjalan-jalan di pasar yang ramai seperti biasa. Bedanya, Rife tidak menemukan penari dan pemain musik keliling.

"Bibi, apelnya dua kilo," kata Rife pada penjual buah.

"Satu kilo untukku." Var menyambung dan Rife menoleh sambil mengangkat alis padanya. "Apa?"

"Setahuku kau bukan orang yang suka menyimpan makanan—kecuali dalam perjalanan tentu saja."

Var menghela napas panjang. "Jaga-jaga saja semisal bocah-bocah itu mencari gara-gara dan melenyapkan nafsu makanku."

"Mereka tidak berulah sejak Cyde melerai kalian."

"Adu fisik maksudmu? Tidak dengan intimidasi yang mereka lakukan. Tidak hanya di ruang makan, tapi juga di kelas."

Wanita penjual selesai membungkus apel untuk keduanya. Mereka lalu pergi sambil membawa gundukan apel dalam kantong kertas. Rife tidak tahan untuk tidak mencomot sebutir apelnya. Mulutnya membuka lebar sebelum memasukkan satu gigitan besar untuk dikunyah. Biarpun nafsu makannya besar, Rife mengimbanginya dengan berlatih fisik tiap hari. Otot-ototnya terbentuk sempurna. Sewaktu di Kith, para gadis bahkan mengidolakannya. Selain tampan, dia ramah. Berbeda dengan Var yang tak acuh dengan sekitar.

"Kau masih kesal ya?" tanya Rife.

"Aku hanya bertanya-tanya apa gunanya kita ada di sini. Belum ada yang bermanfaat selain wajah-wajah tidak ramah mereka. Padahal kita bisa berlatih lebih maksimal di Kith."

"Dan membangkang perintah ayahmu?"

Var terdiam.

"Kau benar-benar tidak peduli hal selain mengembangkan kekuatan ya?" Rife meremas ujung kantong yang dibawanya supaya memanjang dan mudah diikat. "Sama denganmu, aku juga tidak menyukai perlakuan yang kita dapat. Hubungan Vighę dan Kith sudah rumit bahkan sebelum Putra Mahkota meninggal. Satu pemicu itu benar-benar buruk."

"Apa kau akan seperti mereka kalau salah satu anggota keluarga Kith dibunuh oleh orang negeri lain?"

Rife tertawa kecil sekilas. "Kau benar-benar tidak tahu apa-apa," ulang laki-laki itu berpura-pura lelah. "Aku tahu kau tidak suka mendengar rumor yang aneh, tapi setidaknya cari tahu dulu informasi sebuah tempat sebelum kau tinggal sebagai orang asing di sana."

Rife menarik Var masuk ke sebuah kedai. Seorang pelayan wanita menyambut mereka sekaligus menanyakan pesanan. Keduanya kompak hanya memesan minum. Meja yang mereka tempati berdekatan dengan jendela sehingga memudahkan Var mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Seperti biasa, dia terlihat enggan. Wajahnya selalu datar dan sesekali ditekuk.

"Vighę tidak hanya kehilangan pewaris tahta." Rife melanjutkan. "Mereka juga kehilangan si Gadis perak."

"Gadis perak?" Var mengernyit.

"Konon dia adalah gadis yang sangat cantik. Kulitnya sebening kristal, iris matanya biru safir, dengan rambut keperakan yang memantulkan cahaya. Tidak hanya cantik, orang-orang Vighę yang sempat mengobrol denganku mengatakan kalau dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Saat Putra Mahkota Vighę dikabarkan wafat, sang Gadis perak murka. Sekarang hampir setahun berlalu semenjak kejadian itu.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now