60. Prey

6.2K 700 46
                                    

Bab 26-59 telah dibukukan

Fiona sendirian di perpustakaan Cith. Hanya ada satu sumber penerangan, yakni api di lilin kecil di sudut ruang. Gadis itu tengah mengerjakan sesuatu hingga tidak sadar malam semakin larut. Siswa yang biasa menemaninya pun telah meninggalkannya kurang lebih tiga jam lalu. Kemudian saat mencapai halaman terakhir buku yang diperiksanya, barulah Fiona merasakan pegal di leher.

Semua buku yang terbuka di atas meja dia tutup satu per satu selanjutnya ditumpuk. Fiona memutuskan langsung kembali ke kamarnya. Sebelum meninggalkan tempat itu, dia meniup api pada lilin hingga suasana gelap menyergapnya sekarang.

Ketukan sepatunya menggema di lorong. Tepat di tengah-tengah jalan serupa terowongan itu, langkahnya terhenti. Sekujur tubuh Fiona meremang. Gadis itu kemudian menoleh ke belakang, di mana jalan yang dilaluinya itu tampak seakan tidak berujung. Ilusi yang konyol padahal Fiona baru saja melewatinya.

Sekelilingnya hening. Selain desir angin yang menerobos lewat celah dinding, Fiona tidak menangkap gerakan apa pun. Tapi mengapa firasatnya mengatakan sebaliknya?

Mencoba menenangkan diri, Fiona menghadap lagi ke depan. Sepertinya kegelisahannya muncul karena dia kelelahan.

Sembari memikirkan hal lain, Fiona menimbang kapan sebaiknya dia datang ke Ruby besok. Siang atau sore? Silvana demam tinggi hingga Fiona mengajukan permintaan khusus supaya seseorang di sana mengawasi serta merawatnya. Rife yang Fiona harapkan membantu kali ini tidak bisa berbuat banyak. Mereka kehilangan kontak dengan Var.

Siswa Ruby yang ditugaskan oleh Fiona bersumpah tidak pernah melihat Silvana keluar kamar. Sudah seminggu lebih gadis itu menghilang, meski Fiona yakin dia masih berada di Gihon.

Kalau saja Silvana bukan sosok yang dianggap penting di Raveann, Fiona tidak akan merasakan bebannya menjadi dua kali lebih berat. Terlepas dari itu, Fiona sungguh menganggap gadis itu sahabatnya. Melihatnya tampak menyedihkan seperti ini, Fiona tidak bisa mencegah dirinya selalu teringat pada Quon.

Rentetan pikiran tadi terputus ketika Fiona melihat pintu kamarnya yang hanya berjarak beberapa meter. Sedetik. Dua detik. Gadis itu mendadak tegang. Telinga Fiona menangkap bunyi ketukan sepatunya, tapi dari situlah dirinya sadar.

Dia tidak sedang sendiri.

Seiring dengan langkahnya, timbul suara langkah yang lain. Ada dua pasang kaki.

Fiona menghentikan gerak. Kesunyian menyelimuti lorong lagi. Fiona tidak melihat tanda-tanda siapa pun di depannya. Jantung gadis itu memompa liar. Irisnya menggelap membayangkan sesuatu yang menakutkan tengah berdiam di belakangnya. Tubuh Fiona kemudian memutar perlahan. Kembali dia mendapati kegelapan yang mengekorinya.

Bukan hanya langkah Fiona, waktu seakan berhenti. Keheningan memunculkan getaran-getaran yang merembet. Debaran di jantung Fiona bertambah kencang. Tiba-tiba sesuatu melabrak pintu-pintu di sana. Ritme pukulan tidak beraturan , dan semakin keras tiap detiknya.

Bagaimana bisa sesuatu itu berada di tiap ruang yang dilewati Fiona?!

Hantaman keras mendobrak daun pintu hingga terbuka lebar. Satu per satu bayangannya mendapat tatapan nyalang dari Fiona. Mereka dibuka secara bergilir seolah sengaja menerornya.

Kontan Fiona berbalik. Gadis itu berlari menghampiri kamarnya sebelum pintu lain yang berada paling dekat dengannya juga terbuka. Anehnya, sekuat apa pun dia mencoba mendorong gagang pintu, papan kayu itu bergeming.

Gaung di belakang gadis itu bertambah keras. Fiona memutar tubuhnya lagi. Pandangannya berkabut-kalut. Punggungnya menempel rapat pada pintu. Saat pintu itu pelan-pelan terbuka, Fiona terlalu ketakutan untuk sekedar mencerna. Kenapa pintu itu baru terbuka padahal Fiona tidak sedang menekan gagangnya?

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now