18. White

10.2K 1K 57
                                    

Dengan seember penuh air, seseorang mengguyur tubuh Quon. Tanpa aba-aba. Tubuh gadis itu langsung basah hanya dalam satu detik. Quon yang awalnya tidak sengaja tertidur pun akhirnya terjaga. Dingin yang merayap pelan-pelan berubah menjadi tusukan-tusukan menyakitkan yang menembus tulang.

Quon menatap sekitarnya. Ada tiga orang yang berdiri mengitar: kanan, kiri dan depan. Bukan wajah-wajah tipikal siswa Gihon. Perawakan mereka lebih kasar dan sangar. Orang bayaran.

Satu lagi seseorang hadir untuk bergabung. Quon menoleh saat bunyi sepatu yang mengetuk itu perlahan mendekat. Ren Siclér-Ar. Laki-laki itu tadinya pergi setelah para siswa pengikutnya menjebloskan Quon ke ruang isolasi. Quon dibiarkan duduk di atas kursi kayu dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Ruang itu pun tidak memiliki penerangan. Barulah setelah siraman es ke tubuhnya, Quon melihat wadah minyak telah tersulut api.

"Aku penasaran sekali kenapa kau bisa lolos dan masuk ke Gihon," ujar Ren yang menempati kursi di seberang Quon. Kakinya menyilang, dan kedua tangannya saling melipat, menangkup lutut. "Tapi mengganti nama memang ide yang sangat bagus. Anak rendahan sepertimu... Apa yang kau pikir bisa perbuat dengan mengejarku sampai ke sini?"

Quon diam. Pandangannya menghindar dari sorot penuh selidik Ren.

"Tadinya kupikir kau adalah hantu." Ren mengusap-usap dagu. "Kau benar-benar masih hidup meski aku sangat yakin telah membunuhmu sebelumnya. Bagaimana kau bisa selamat setelah aku menebas perutmu dengan pedang berlumur wolfsbane?"

Tidak. Sayangnya Quon tidak selamat. Tebasan itu berhasil membunuhnya meski bukan di saat yang sama saat perutnya mendapat luka melebar yang menganga. Setidaknya gadis itu masih hidup saat Ren menatapnya dingin. Dia pun ditinggalkan begitu saja di tengah-tengah hutan. Tidak ada yang menolong. Ren pun pergi karena tahu racun mematikan itu akan cepat membunuhnya. Saat Quon bergerak, saat itulah racun akan menyebar semakin cepat.

Kemudian seseorang datang, dalam cahaya keperakan meraih Quon.

Luka itu masih sangat menakutkan meski Quon masih dibiarkan hidup. Gadis itu mencoba berkali-kali menggunakan herin. Namun satu sentuhan saja mampu membuatnya menjerit histeris. Pada akhirnya obat itu justru dengan mudah melenyapkan lukanya dengan paksaan Var yang-Quon yakin-tidak berpikir panjang.

Kembali lagi ke saat ini. Apa alasannya sampai Ren memasukkan Quon ke ruang isolasi? Hukuman apa yang dia maksud? Ren tidak mungkin mengarang-ngarang alasan. Dia tidak akan mengambil resiko menyeret Quon menggunakan tangan-tangan siswa Emerald yang lain.

"Besok, kau akan dibawa ke royal garden, Sira," kata Ren lagi dengan menyebut nama asli gadis itu. "Karena aku telah mengatakan pada mereka telah menemukan sumber kekacauan di Zaffir beberapa waktu yang lalu."

Tubuh Quon seketika menegang. Tidak mungkin ada yang tahu. Ren tidak mungkin bisa melacaknya. Apakah Quon telah melakukan kesalahan?

Ren tersenyum. "Aku tinggal menunggu kalimat pengakuan itu keluar dari mulutmu, setelah yang satu ini."

Laki-laki itu menjentikkan jari. Tiga orang suruhannya kemudian bergerak menyiksa Quon.

***

"Apa yang kau lakukan?" tegur Rife melihat Var mematung, padahal siswa-siswa yang lain telah melangkah jauh menuju aula.

Var tidak menggubris. Sepasang matanya menyipit sambil sesekali mengerjap. Rife yang merasa bingung pun akhirnya memilih meninggalkannya seorang diri. Var tetap bergeming saat akhirnya dia melihat sosok berbalut pakaian putih seperti mengawasinya dari kejauhan. Var tidak bisa mengenali wajahnya. Dari jarak sejauh itu, sosoknya sendiri terlihat kabur.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now