44. Reminiscence

6.3K 802 59
                                    

Papan gerbang diangkat. Derek dikayuh, menggerakkan rantai pengait pintu gudang. Ketika terbuka lebar-lebar, bayangan Var dan Rife tercetak jelas di lantai yang lumayan berdebu. Mereka pun mematung melihat rongsokan senjata-senjata tajam yang menggunung bahkan sampai mencapai langit-langit.

Var dan Rife harus memilahnya satu demi satu, memisahkan senjata yang masih bisa digunakan dan tidak. Namun meski semuanya adalah barang rongsokan, mereka tetap harus berhati-hati karena sisi runcingnya yang tajam. Meraup beberapa sekaligus bukan ide bagus. Tangan mereka bisa terluka bahkan infeksi.

Di samping Var, Rife mengusap wajah frustasi. Laki-laki itu menelan ludah lalu membiarkan bibirnya senam. Sebelum datang ke sana untungnya dia tidak lupa membawa bekal: tiga kilogram apel dan sebungkus penuh roti kukus yang telah dingin. Jadilah hari itu mereka tidak mengikuti kegiatan pengajaran meski telah kembali ke Gihon.

Satu hari mereka habiskan dengan tubuh yang pegal. Dua hari, tiga hari, sampai akhirnya lima hari terlewat. Rife melemparkan sebuah kapak berkarat begitu saja lalu merebahkan tubuh. Dia mendesah keras.

"Aku benar-benar berharap tidak ada masalah lagi di Kith sampai kita disuruh kembali. Tugas seperti ini hanya akan membunuhku perlahan," gerutu Rife. "Awalnya kupikir gunungan menjengkelkan itu sama sekali tidak berkurang di hari pertama. Nyatanya kita bisa kalau tetap bekerja sama." Dia tertawa—tawa renyahnya yang pertama kali semenjak kembali ke Gihon.

Rife sempat bertemu dengan Areah, namun bukannya memberikan pelukan sayang, gadis itu justru mendaratkan cubitan-cubitan menyakitkan ke tubuh kekasihnya—kesal karena tidak sekali pun Rife mengirim surat.

Var seperti biasa tidak banyak bicara. Dia hanya menanggapi seadanya celotehan Rife dan beberapa kali kedapatan menggerutu. Wajahnya suram—entah karena tugas tebusan yang gila-gilaan, atau saking gatalnya hendak berlatih. Rugo bahkan bergidik saat melihat Var seakan-akan hendak menerkamnya saat laki-laki itu dan siswa lain menguasai arena bertarung.

Tapi sebenarnya bukan hal itu saja yang mengganggu Var. Tidak peduli berapa kali pun dia mencoba mengabaikannya, benaknya tanpa bisa dicegah memikirkan seseorang. Terakhir Var melihatnya, sorot gadis itu begitu sayu. Seolah-olah dirinya hendak dimasukkan lagi dalam kurungan untuk waktu yang lama. Awal saat mengetahui jika dia seorang Putri Burö, Var sudah didera sedikit rasa bersalah karena sempat membiarkannya berhari-hari di jeruji tawanan.

"Var, bagaimana kalau kita keluar mencari makanan hangat? Kau dan aku butuh sup daging mendidih."

"Tidak," balas Var pendek. Laki-laki itu melepas sarung tangan lalu melangkah keluar gudang.

Rife tidak menyerah. Dia bersikeras Var harus melonggarkan emosinya sebentar. Semua orang di sekeliling mereka akan terkena imbas jika laki-laki itu tetap uring-uringan.

"Besok! Setidaknya temani aku besok!" Rife tiba-tiba saja mengalungkan lengan kanannya ke bahu Var, tidak peduli delikan tajam yang langsung mengarah padanya. "Aku butuh beberapa tumbuhan herbal karena tabib Emerald menyuruhku rutin memakannya. Rasanya mengerikan sekali."

Var mengatupkan bibir rapat. Diamnya laki-laki itu membuat Rife menyeringai puas. Seburuk apa pun suasana hati Var, dia tidak akan mengabaikan usaha Rife mencapai kesembuhan total—lukanya masih belum sembuh benar.

Tanpa mereka menyadari, Kia berdiri bersandar pada sisi lain bangunan gudang. Iris hijaunya menyorot lurus selama mendengar kicauan Rife. Saat suara kedua laki-laki itu telah menjauh, Kia pun pergi.

***

Hari telah beranjak siang, namun Silvana tidak beranjak sedikit pun dari kamarnya. Gaun tidurnya bahkan masih melekat di tubuh. Jubah serta seragamnya dibiarkan menggantung dekat lemari. Gadis itu sama sekali tidak menyentuhnya lagi sejak kejadian di Harbutari. Silvana juga tidak hadir pada jadwal-jadwal pengajaran. Melihat buku materinya saja, dia tidak berminat.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now