14. Frozen

10.7K 1K 23
                                    

Argent Burö membuka gulungan perkamen tua dari lemari. Mengandalkan cahaya dari perapian, dia meneliti tulisan-tulisan yang agak memudar. Panjangnya perkamen tua tersebut sampai menyentuh lantai. Lama dia membaca hingga sampai di barisan paling akhir. Pria itu pun menghela napas gusar. Tidak sesaat pun batinnya tenang setelah pertemuannya dengan raja.

Argent akan selalu dipaksa bungkam saat Raja Vighę mengucapkan kata perintah. Keinginannya akan selalu mutlak. Namun bukan berarti Argent kehabisan akal untuk memberikan syarat. Dia tidak ingin mengambil posisi di mana putrinya akan didudukkan dalam singgasana penuh duri. Tidak hanya sebagai salah satu pilar pelindung Vighę, kerajaan lain akan berlomba mendapatkannya. Itu sama saja menggantungkan putrinya di atas kubangan lumpur yang dipenuhi buaya.

Perdana Menteri Vighę tersebut memejamkan mata, mengingat tiap kata yang dia ajukan pada sang Raja.

"Hamba akan memenuhi perintah Yang Mulia untuk menjadi Putra Mahkota. Tapi tidak boleh ada pengumuman resmi untuk itu—supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Yang Mulia hanya akan memberikan pernyataan khusus untuk hamba dalam bentuk surat, hingga hamba bisa menyimpan dan membacanya tiap kali dengan memikirkan rakyat kita."

Raja Vighę tersenyum samar sebagai bentuk kelegaan. Dia memandang Argent seolah sudah menduga apa yang akan menjadi jawaban pria itu sebelumnya.

"Ditambah lagi, simbol Vighę adalah Yang Mulia sendiri. Yang Mulia harus berjanji pada hamba jika tidak akan turun tahta dengan sengaja. Selama Yang Mulia masih kuat dan sehat, hamba akan menyertaimu senantiasa.."

Argent kemudian menekuk satu lututnya saat bersujud di hadapan dengan raja.

"Pahamilah.. hamba pun juga seorang ayah," ucapnya pelan. "Semua yang kulakukan, semata-mata demi Vighę dan putriku satu-satunya."

Masih dalam kebisuan dalam ruangnya, Argent menghampiri jendela. Siku tangannya terangkat lalu menjadi penopang bagi kepalanya yang penat. Lagi, sepasang kelopak matanya menutup.

Argent mengerjap ketika tiba-tiba kaca di depannya membentuk retakan-retakan memanjang. Meskipun kaca itu tidak sampai pecah, dia langsung dirayapi perasaan cemas. Saat itu juga, dia keluar dari ruangannya diikuti pandangan kaget dari para maid.

Argent langsung mengenakan jubahnya sebelum setengah berlari menuju istal. Pria itu kemudian mengeluarkan seekor kuda dari pintu pertama yang paling dekat. Tanpa menunda lagi, sosoknya bergerak cepat keluar dari kediamannya di atas bukit dekat sungai Tiberi.

Jalan yang dia ambil, sama persis dengan jalan yang dilalui Cyde sewaktu pergi ke daerah tersebut. Pria itu berhenti di tepian telaga, menaiki satu per satu anak tangga yang tidak kasatmata. Dan di penghujung tangga itulah, Argent menjentikkan jari. Dalam sekejap, kuncian gerbang segel dilepas sehingga dia bisa masuk ke dalam. Matanya melebar saat menemukan retakan kecil di peti kaca yang mengurung Silvana Burö.

Wajah damainya saat tertidur, masih sama persis dengan ingatan Argent tentangnya. Ah, tidak.. Alih-alih disebut wajah yang damai, rona gadis itu lebih cocok dikatakan bagai mayat yang diawetkan. Putrinya—sang Gadis Perak—tampak melayang di dalam peti kaca berisi air yang diposisikan vertikal.

Tampaknya gadis itu sempat bergerak gelisah beberapa saat yang lalu hingga kaca yang mengurungnya retak.

"Apakah kau mimpi buruk, Nak?" tanya Argent sambil menyentuh kaca tersebut—satu-satunya penghalang di saat dirinya ingin sekali mengusap pipi gadis itu.

Seakan bereaksi terhadap pertanyaan Argent, kepala Gadis Perak bergerak, mengayunkan rambut panjangnya. Meski kelopak mata gadis itu menutup, Argent bisa menerka ada sesuatu yang salah tengah terjadi. Argent pun tidak memiliki pilihan lain, dengan kekuatan spiritual yang dia punya, pria itu lantas menidurkannya lagi.

Silver Maiden [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang