71. Barrier

6.1K 688 55
                                    

"Jika Raveann tidak memiliki gunung Tar dan Taruhi sebagai pusat kekuatan spiritual, pertahanannya akan dengan mudah dibobol," ujar Ghaloth sembari membungkuk dan menyangga tubuhnya pada tangan yang menempel di atas meja peta Oltra.

Rambut legam bergelombang miliknya tergerai panjang, bergabung dengan jubah gelap yang terseret tiap dia bergerak. Matanya yang kelam tidak sama dengan yang dimiliki Var. Mata itu lebih condong pada mata orang yang telah mati. Terlebih kulitnya amat pucat, sampai-sampai membuat kulit pualam Quon terkesan lebih "hidup". Dia begitu menawan dilihat dari sudut mana pun. Pantas saja para putri bangsawan di pesta dua malam lalu memandang keruh pada Quon-karena target mereka telah direbut.

Di luar para prajurit penjaga, hanya ada Ghaloth, Quon dan Salazar yang berada dalam ruangan tersebut. Atapnya berbentuk kubah raksasa, berhias lukisan yang telah memudar dimakan usia. Sesekali Ghaloth dan Salazar akan melangkah mengitari meja peta, sembari mendiskusikan rencana mereka. Quon sendiri tidak banyak berucap. Gadis itu duduk manis di atas kursi metal dengan sisi atas sandaran yang menyerupai duri.

"Dengan tentaraku bergabung dengan tentara Hurdu, prajurit mereka bisa dihanguskan dengan mudah," kata Ghaloth lagi. "Halangan kita hanya resimen cenayang yang mengisi hampir separuh jumlah orang Raveann."

"Kepala Taruhi yang sekarang sangat terkenal," tambah Salazar yang menyilangkan tangan. "Dengan cara apa kau bisa melumpuhkannya?"

Ghaloth tersenyum. "Bukan aku." Pria itu menoleh ke arah Quon yang sedari tadi masih diam. "Aku yakin Ratuku memiliki jalan terbaik untuk memberangus Taruhi. Apa kau suka pada hadiahku?"

"Hadiah" yang dimaksud Ghaloth adalah ditangkapnya Dalga oleh orang-orang kepercayaannya. Quon sendiri tidak pernah menyebut nama mantan kepala asrama Cith itu, apalagi sampai meminta penangkapan ini. Quon hanya butuh salah satu orang yang memiliki darah cenayang Raveann, apabila dia terdaftar menjadi Taruhi maka itu akan lebih baik. Ghaloth telah memilih orang yang tepat. Akses yang dimiliki Dalga, juga kekuatan laki-laki itu akan sangat sempurna nantinya.

"Dia tunanganku. Jangan sentuh dia."

Fokus Quon sedikit banyak terganggu hingga dia hanya bisa diam.

Sadar jika pertanyaan Ghaloth dialamatkan padanya, gadis itu hanya membalas singkat. "Ya."

"Bagaimana dengan Hurdu? Wilayah paling barat negerimu berbatasan langsung dengan Ranoor. Ada kemungkinan mereka akan menyerang dari sana." Tatapan Ghaloth beralih pada Salazar.

"Benteng dan tembok raksasa yang telah dibangun ayahku tidak akan mudah ditembus," jawab Salazar yakin. "Kalau pun mereka bisa, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Bernaĕr tidak seidiot itu kurasa. Saat mereka mencoba susah payah menghancurkan benteng, Vighę mungkin telah jatuh."

Kedua pria itu saling balas menyeringai. Untuk sekarang, mereka terlihat seperti sekutu yang solid. Tapi tidak ada yang bisa menjamin ketika salah satunya lengah, maka yang lain akan menghunus tombak.

Bunyi pintu yang dibuka mengalihkan perhatian keduanya.

"Yang Mulia, para bangsawan telah berkumpul di balairung," lapor seorang prajurit.

Demi keberhasilan rencana mereka, Ghaloth harus bisa mengumpulkan sekutu sebanyak mungkin. Ratraukh memegang kendali prajurit terbanyak setelah pasukan istana miliknya, tapi bukan berarti Ghaloth tidak membutuhkan bantuan para bangsawan. Untuk saat ini, bantuan dalam bentuk apa pun diperlukan.

Ghaloth memandang Quon dan Salazar bergantian, tidak lupa mengulaskan senyum simpul.

"Kita akan teruskan ini nanti, atau besok pagi. Nikmati waktu kalian," katanya sebelum melangkah pergi.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now