46. Smith

6.5K 747 38
                                    

Tubuhnya melengkung, bundar bagai pangsit gulung. Selimutnya berserak di atas lantai—merosot jatuh semalam karena ditendang. Silvana sendiri masih terlelap meski sekelilingnya telah terang benderang. Dia membiarkan kepalanya ditindih bantal. Dan selang tidak berapa lama kemudian, ketukan pintu menyadarkannya.

Silvana mengerang lirih. Saat menegakkan punggung dan melihat ke arah pintu, batinnya bertanya-tanya siapa di luar. Biasanya tidak ada yang mengganggunya di pagi hari begini. Kadang Fiona yang datang, itu pun saat siang atau sore hari. Rutinitas Silvana sendiri masih sama: tidak datang ke jam pengajaran dan lebih memilih membaca buku yang dibawanya dari rumah.

Malas-malasan, Silvana membuka pintunya. Dia pun mengerjap terkejut mendapati tiga orang siswa berseragam merah menghadapnya sekarang. Satu di antaranya berdiri di depan. Dia mengernyit melihat rambut hitam Silvana yang seperti telah dihantam badai.

"Vana?" Siswa berkacamata itu menyebut namanya, memastikan kamar yang mereka datangi benar. "Kepala asrama memanggilmu. Mohon segera bersiap."

Karena baru saja bangun tidur, Silvana tidak langsung bereaksi seperti yang diminta. Kelopak matanya sesekali berkedip cepat sambil mengamati siswa-siswa itu dari kepala sampai ujung kaki.

Sudah menduga situasi seperti ini, siswa yang berada di depan pun memberi isyarat pada yang lain untuk bertindak. Mereka langsung masuk ke kamar Silvana tanpa meminta persetujuan. Dengan gerak secepat kilat, mereka pun sukses mempersiapkan gadis itu hingga rapi dan bersih. Tampaknya para asisten khusus memang punya kemampuan sebagai dayang dadakan.

Silvana diam menurut saat mereka menggiringnya ke ruang asrama di mana Lilac menunggu. Ketika masuk ke sana, Lilac rupanya tidak sendirian. Ada Cyde dan Dalga yang langsung berdiri begitu melihat Silvana. Lilac yang melihat keanehan itupun mengernyit.

"Silakan duduk, Vana," perintah Lilac dari mejanya. Wajah gadis itu pucat. Ada kantung gelap di bawah matanya. Siapa pun bisa langsung menyimpulkan kondisinya yang kurang sehat, namun seperti biasa, Lilac berlagak tidak merasakan apa-apa.

Silvana kemudian duduk di kursi empuk yang terletak di ujung. Cyde dan Dalga menempati kursi panjang di sisi kanan kiri.

"Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?" tanya Lilac.

"Tidak," jawab Silvana seraya menggeleng.

Lilac menghela napas panjang. Penat di kepalanya sudah cukup banyak dan kini dirinya harus mengurus siswa baru yang hampir tidak pernah masuk ke kelas. Lilac sempat menyinggung hal ini pada Cyde. Dan ya, laki-laki itu langsung bertingkah aneh seakan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Padahal untuk menghadapi situasi semacam ini, mereka sebagai kepala asrama harus menentukan sanksi. Otoritas tetap dipegang oleh Lilac. Gadis itu pun semakin merasa aneh karena kini Dalga memaksa untuk ikut campur.

Hanya karena seorang siswa baru?

Lilac mengambil secarik kertas yang diletakkan di depannya. Itu catatan Silvana di Gihon. Banyak tanda merah yang dicoretkan guru karena ketidakhadiran gadis itu.

"Apa kau punya masalah dengan mengikuti kegiatan di sini? Catatanmu sama sekali tidak membuatku senang. Apa kau sengaja membolos di semua jadwal pengajaran Ruby?" Lilac tidak berbasa-basi dan langsung ke inti masalahnya.

"Bukannya aku tidak mau datang.." Silvana merasakan lirikan Cyde dan Dalga hingga merasa tidak nyaman.

"Lalu?" Lilac mengerutkan kening.

"Semua buku-buku yang harus kupelajari di Gihon.. aku sudah mempelajari semuanya."

Hening beberapa detik. Alasan diamnya Cyde dan Dalga berbeda dengan Lilac.

Silver Maiden [Terbit]Место, где живут истории. Откройте их для себя