11. Motive

11.4K 1.1K 25
                                    

Var dan Quon melewati sungai Tiberi. Pandangan Var kemudian mengedar di salah satu sisi sungai tersebut. Di hadapan mereka menjulang pohon-pohon besar yang terkesan saling merapat. Akarnya pun mencuat keluar dari tanah seperti lengkungan ular.

Quon mengerjap saat Var beranjak turun. Laki-laki itu mengambil beberapa langkah ke depan, mendekati hutan yang dimaksud Quon. Matanya menyipit, mendapati suasana di dalam yang gelap. Cahaya matahari gagal menerobos masuk. Belum lagi hawa dingin yang seakan berhembus dari dalam. Var tidak takut pada apa pun. Hanya saja dia merasakan firasat aneh.

Var lalu berbalik menghampiri Nii. Dengan lembut, diusapnya kepala kuda yang gagah itu.

"Dia akan menunggu di sini," kata Var.

Laki-laki itu bergerak ke sisi samping Nii, di mana kaki Quon menjulur di atas tubuhnya. Var mengulurkan tangannya, hendak membantu gadis itu turun. Quon tampak ragu karena kakinya sendiri berada cukup tinggi dari tanah. Meski begitu Quon akhirnya membalas uluran tangan Var. Menutup mata, dia memberingsut turun. Napasnya tertahan saat Var menangkap tubuh mungil itu dalam dekapannya.

Sentuhan laki-laki itu berakhir begitu cepat. Entah itu suatu keberuntungan atau tidak. Yang pasti jantung Quon seakan melompat-lompat. Mungkin organ sekepalan tangan itu akan menciptakan bunyi genderang kalau Var mendekatkan tubuh keduanya.

"Jauh?" tanya Var tanpa menoleh. Dari penglihatannya yang mampu menerobos jauh ke dalam hutan yang rapat itu, Var tidak menemukan pemukiman yang dimaksud Quon. Sejauh ini laki-laki itu hanya mendapati kegelapan.

"Aku tidak pernah memperhatikan waktu saat berjalan-jalan di sini," balas Quon saat mereka mulai memasuki hutan.

Sulur-sulur pohon menggantung. Akar-akar yang kekar membentuk gundukan—mereka harus ekstra hati-hati supaya tidak tersandung. Hanya sebentar saja namun kulit Quon menjadi kotor. Berkali-kali wajahnya terkena ranting yang menggantung atau sulur. Var juga melihat untuk yang ketiga kalinya saat gadis itu tersandung sampai-sampai mencium tanah.

Jadi karena inilah penampilannya selalu berantakan saat kembali ke Xerokh, batin Var yang menghela napas panjang.

Semakin jauh mereka masuk ke hutan itu, firasat aneh yang dirasakan Var bertambah. Sementara Quon bergerak dengan sangat yakin dan juga tanpa rasa takut akan tersesat, Var juga sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pemukiman dekat sana. Sekeliling mereka lumayan gelap serta hawa yang bertambah dingin.

"Di mana desa yang kau maksud tadi?" tanya Var.

"Ah, Areun? Tempatnya berada di selatan sana. Kalau kau ingin ke Areun, kau tidak perlu menerobos hutan seperti ini. Tinggal ikuti saja sungainya, lalu masuk jalan setapak yang dibuat penduduknya."

Var terdiam lama. Laki-laki itu tidak sepenuhnya memercayai Quon, namun saat ini hanya omongan gadis itulah yang jadi pegangannya sekarang. Var tampak kurang fokus dengan langkahnya saat Quon mendadak berhenti lalu menatapnya. Var mengerjap dan balas menatap gadis itu.

"Apa?"

Bibir Quon menekan. "Aku tidak sedang berbohong," ucapnya. "Sama seperti orang Vighę yang tidak memercayai orang Kith, apa kau juga sedang meragukanku?"

Var tersenyum sekilas—sinis. "Kau berbohong atau tidak, tidak akan memberi kesialan apa pun untukku, kecuali waktuku yang habis untuk meladenimu." Laki-laki itu meneruskan jalannya. Tapi baru beberapa langkah, Var mengerutkan kening karena dia tidak mendengar Quon menyusulnya. Dia pun menoleh lagi pada gadis yang sedang menatapnya penuh arti tersebut.

"Apakah kau pernah mendengar cerita tentang Gadis Perak?" tanya Quon. Kakinya berpijak di tanah yang lebih tinggi. Var yang sempat turun melalui cekungan melandai pun harus agak mendongak saat memandangnya. Gadis itu tersenyum samar. "Ada seseorang dari Areun yang bersumpah kalau dia melihat seorang gadis yang bercahaya berjalan-jalan di sini. Dia bergerak.. namun kakinya tidak menyentuh tanah."

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now