48. Bidder

6.2K 769 88
                                    

"Bawa jalang itu kemari! Aku tidak akan puas sebelum membabat habis rambutnya!"

"Tapi, nyonya.. bagaimana kalau tuan tahu?"

"Dia tidak akan kembali selama beberapa hari! Kalaupun marah, dia tidak akan melakukan apa pun padaku! CEPAT BAWA DIA KE SINI!!"

Dua orang pria secara kasar menyeret wanita itu. Dekapannya terlepas dari Var. Tidak peduli rontaan dan jeritan yang memenuhi paviliun samping, kepalanya dijambak sebelum akhirnya dipukuli berulang kali.

"Ibu! Ibu!"

"Diam kau! Atau kau mau dihukum mati seperti ibumu?!"

Tidak peduli ancaman yang diterimanya, Var tetap berusaha melepaskan diri. Lengan kurusnya dicengkeram terlalu kuat. Tangisnya kian menjadi. Di puncak isakannya, perut Var bergolak. Dia lantas beringsut, memuntahkan semua isi lambung. Mungkin bersamaan ketika wanita jahat tadi memangkas habis rambut perempuan yang dipanggilnya jalang.

Wajahnya ditampar lalu ditendang sebelum kemudian diludahi. Kalap, gaun yang membalut tubuhnya kemudian dirobek sampai tidak lagi berbentuk. Di tengah teriakan pilu itulah, beberapa pria di sana tertawa.

Neraka itu tidak berakhir dalam waktu yang singkat.

Tangan Var mengambang di udara, hendak meraih perempuan itu. Tapi terlambat.

Dia menyambar belati dari pria yang menindihnya. Pandangan perempuan itu mencari Var lalu tersenyum pedih.

Senyum yang terakhir kali dia sunggingkan sebelum tangan yang bergetar itu menikamkan ujung belati ke leher.

***

Var terkesiap. Laki-laki itu kontan terjaga di detik yang sama saat telinganya menangkap sinyal palsu. Seolah-olah barusan dirinya mendengar bunyi ujung yang tajam, membenam ke dalam kulit. Bukan tekanan yang halus. Sebaliknya, hujaman yang dia dengar amatlah tiba-tiba.

Var tidak pernah bisa siap melihat ataupun mendengarnya, meski serpihan ingatan itu datang padanya beberapa kali.

Mendesah, dia menyeka keringat di dahi. Disingkapkannya selimut, kemudian beralih ke meja untuk menuang air ke gelas. Air di dalamnya langsung tandas hanya dalam tiga teguk. Sekian lamanya dia tetap diam, bahkan membiarkan pikirannya kosong demi memulihkan ketenangan.

Jarang-jarang Var seperti ini. Hanya saat pikirannya terlampau berat, otaknya memutar lagi potongan ingatan yang mati-matian ingin dia lupakan. Tapi sekarang karena apa? Var tidak merasa memiliki beban yang mengharuskannya berpikir keras. Dia bahkan tidak mengalami mimpi itu ketika berurusan dengan perompak penjarah beberapa waktu lalu. Apakah ini semacam firasat?

Pemicunya hanya gara-gara Var hampir membunuh induk beruang itu?

Kelopak mata Var menutup sesaat sebelum membukanya perlahan. Pupilnya tidak lagi membesar. Sorotnya telah kembali normal.

Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu mengetahui Silvana terperosok ke lubang yang dalam. Sementara di atas, tubuh beruang yang mungkin lima kali lipat dari tubuh Var itu bersiap menerkam. Kekalutan lagi-lagi menguasai Var. Tahu jika ledakan yang dihasilkannya tidak cukup membunuh makhluk buas itu, dia bersiap akan melenyapkannya lagi. Akan tetapi tubuhnya bergeming saat melihat anak-anak beruang itu di belakang induknya yang rebah.

Kasihan? Yang benar saja. Tangan Var telah kotor. Dia telah berkali-kali membunuh. Perasaan lembek seperti itu seharusnya telah menghilang dan tidak lagi membekas.

Bersamaan dengan air matanya yang telah lama terkuras habis.

***

Satu anak panah melesat. Ujungnya menancap pada tengah-tengah berkas jerami. Itu adalah anak panah ketiga yang berhasil mengenai sasaran—di luar delapan puluhan anak panah lain yang gagal. Tiap kali Silvana datang ke lapangan terbuka untuk berlatih, dia akan meletakkan seberkas jerami. Paham jika lontaran panahnya belum bisa jauh, Silvana pun memosisikan berkas tadi, dari yang mulanya jarak dekat ke jarak yang jauh.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now