61. Pawns

5.7K 680 32
                                    

Hati-hati, Silvana membuka kotak besar berisi banyak kudapan dalam berbagai macam bentuk dan warna. Nabu yang duduk di depannya langsung bertepuk tangan gembira. Seperti biasa Silvana akan membiarkannya meraup semua makanan itu sendirian. Nabu akan mengambilnya lalu bergerak menjauh sambil memunggungi Silvana supaya gadis itu tidak melihat kala topengnya dibuka.

"Apa tidak repot harus memakai topeng begitu?" tanya Silvana. Mereka kini duduk saling berhadapan, bersila. Nabu mengunyah tongkat permen yang menjulur di bawah topeng sehingga tidak perlu melepasnya.

"Tidak," tanggap Nabu singkat.

"Kenapa kau terus memakainya?"

"Kata Cambyses, wajahku seperti kerbau. Dia benci melihatku makan dan selalu memanggilku gendut."

"Siapa Cambyses?"

"Pengawasku di Harbutari," kata Nabu. Suara giginya yang melumat permen keras tadi terdengar sangat jelas. "Cambyses sangat ganteng, tapi selalu suka menggangguku. Dia juga suka mengganggu semua orang di Harbutari. Tapi tidak ada yang berani melawannya. Dia menakutkan jika sedang marah. Pernah dia menggelindingkanku waktu tidak sengaja tidur di atas tangga."

Sejak kapan Harbutari menjelma menjadi tempat bermain begitu?

Menemui Nabu menjadi penawar kemurungan Silvana. Seminggu sekali gadis itu masih membawakannya makanan dengan senang hati. Nabu senang bermain, suka mengomentari banyak hal, termasuk betapa jauhnya ukuran tubuh keduanya. Dan melihat karakter Nabu yang tidak memiliki beban pikiran, Silvana perlahan-lahan menirunya.

Di luar itu, Silvana sama sekali tidak berkomentar mengenai serpihan berlian yang tertanam di dalam perut Nabu. Gadis itu bisa melihatnya jelas—sama halnya dengan Kia yang memiliki berlian terbenam di punggung.

Sore harinya, Silvana kembali ke asrama. Dia membongkar hampir semua kotak yang berada dalam kamar. Setiap buku telah dia baca, masing-masing kanvas telah dipenuhi coretan cat, boneka-boneka kayu yang telah rusak karena dimainkan setiap hari. Silvana melakukannya dengan sengaja dalam beberapa hari ini. Dirinya tengah menunggu sekaligus mempersiapkan diri.

Agendanya masuk pada giliran menemui daftar nama yang dia buat sendiri.

Silvana bersiap dengan membasuh diri, mengenakan pakaian yang tidak kusut, serta menyisir rambut. Tanpa sungkan dia keluar dari Ruby menuju Cith. Sosoknya mencolok di antara siswa lain yang berseragam kuning. Silvana sempat bertanya di mana letak ruang kepala asrama sehingga dia bisa menemui Fiona.

Pertemuan mereka bisa jadi langkah awal Silvana yang bermaksud meninggalkan Gihon.

"Nona Fiona sedang sakit," kata salah seorang asisten Fiona saat ketika Silvana sampai di ruang kepala asrama. "Dia tidak ingin ditemui untuk sementara ini."

Fiona sakit? Sakit apa? Mereka memang jarang bertemu selama hampir dua bulan ini. Silvana menjadi sangat cemas.

"Di mana dia sekarang?" Silvana bersikeras. Siswa tadi juga kukuh tidak akan membiarkannya menemui Fiona. Akhirnya karena perdebatan yang panjang dan tidak ada yang mau mengalah, seseorang harus menengahi. Kebetulan saja Areah yang mengenal Silvana lantas menggiring gadis itu ke kamar Fiona.

"Kepala asrama sedang sakit—maksudku benar-benar sakit," kata Areah yang berwajah keruh. "Kami sulit sekali membujuknya makan dan beristirahat. Dia selalu ketakutan akan bermimpi buruk. Para guru bahkan tidak bisa berbuat banyak. Kami tidak mengerti apa ada yang salah atau tidak.. Dia seperti kena teluh, tapi tidak peduli berapa kali pun ritual penyisiran dilakukan, kami tidak menemukan apa pun."

Mereka akhirnya sampai di muka sebuah pintu berdaun sepasang. Pelan-pelan, Areah membukanya setelah mengetuk dua kali. Tidak ada sahutan dari dalam. Ruangan itu terang benderang, sinarnya berasal dari lentera dengan api putih melalui campur tangan sihir. Silvana dan Areah mendekati ranjang tempat Fiona berbaring. Gadis itu tengah terlelap tapi alisnya terus saja bertaut karena tidak tenang.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now