45. Tranquility

6.4K 759 50
                                    

Rasanya nyaman sekali. Sepertinya belum lama waktu terlewat sejak sekujur tubuhnya menggigil akibat basah kuyup. Ciuman laki-laki itu seketika memberikan gelenyar kehangatan yang tidak terlupakan. Tubuhnya mengurung, menaungi, serta melindunginya, dalam artian sesungguhnya ataupun tersirat. Pada akhirnya saat tautan bibir mereka terlepas, Var memeluk Silvana yang lemas. Gadis itu bahkan tidak bisa menahan rasa kantuk yang menyerang akibat kedinginan.

Silvana menggeliat. Bajunya terasa agak lembab, namun hangat. Ah, bukan. Silvana tidak lagi mengenakan gaun luarnya, dia hanya mengenakan gaun dalam yang berwarna putih dan tipis. Matanya terbuka, mendapati tubuhnya diselimuti kain lain yang tebal. Kepalanya pun kini tengah bersandar pada seseorang.

Mereka duduk di depan perapian, entah rumah siapa itu. Silvana berjengit memandang Var. laki-laki itu sedang terlelap. Silvana sedikit menarik diri lalu memindahkan selimutnya ke tubuh Var. tidak disangkanya, Var mendesah. Mata kelam itu pun menumbuk tepat pada mata safir Silvana.

"Lama sekali kau tertidur," komentar laki-laki itu pelan.

"Aku pikir kau juga tertidur." Tangan Silvana yang mulanya hendak menaikkan garis selimut ke dagu Var kemudian beringsut turun. Karena tertarik, selimut yang menutupi tubuhnya sendiri pun melorot, menampakkan lengannya yang telanjang. "Di mana ini?"

"Rumah kosong."

"Apa mantelku juga basah kuyup?"

Var ganti menoleh pada gantungan tali yang dikaitkan dekat perapian. Gaun luar dan mantel Silvana disampirkan di sana. Melihat talinya sampai melengkung karena menahan berat, mereka tahu jika tidak ada harapan kainnya akan cepat kering.

Seingatnya, langit masih cerah saat mereka berada di luar tadi. Silvana menengok ke luar jendela, melihat warna hitam telah menguasai langit.

"Ayahmu pasti sedang mencarimu sekarang. Apa kau kabur?"

Silvana menggeleng. Var tidak tahu jika dirinya ada di Gihon beberapa hari ini, haruskah dia memberitahu laki-laki itu? Mungkin tidak sekarang.

"Var," panggil Silvana dan mata kelam itu kembali menatapnya. "Var.."

"Kenapa?" Kening laki-laki itu berkerut aneh. Silvana yang melihatnya hanya tersenyum.

Saat dia kembali ke tubuh aslinya, Silvana tidak pernah bertanya-tanya mengapa dirinya selalu merasa aneh tiap melihat sosok Var. Rumpang dalam hatinya diselimuti bisikan samar. Bisikan yang hangat. Ke mana pun laki-laki itu bergerak, Silvana akan secara alamiah mengikuti, atau minimal memperhatikannya. Kerinduannya yang koyak akan Mikhail pelan-pelan tersambung kembali. Silvana bagaikan melihat aurora di tengah dataran es yang memakunya.

Namun sekarang setelah Silvana mengetahui alasan kenapa dia begitu mudah mendekat pada Var, batinnya dirayapi kegetiran. Juga perasaan bersalah. Quon yang dulu Var kenal, bukan hanya Silvana, namun juga Sira. Berbeda dengannya, Sira memiliki karakter yang kuat. Kacau namun menyenangkan. Hangat sekaligus menggebu-gebu.

Silvana mungkin hanya menyumbangkan sifat pesimistis dan kesedihan yang kadang menyelimuti jiwa Sira.

Sira—gadis itu ... apakah sedang beristirahat dengan tenang?

"Var.." Tanpa memedulikan ekspresi kesal laki-laki itu, Silvana masih menyebut namanya. Dia melihat laki-laki itu beranjak berdiri, hendak menghampiri jendela. "Panggil namaku."

Var berbalik. Lagi-lagi dia memandang Silvana aneh. Var tidak terlalu menganggap serius permintaan gadis itu. Yang dia lakukan selanjutnya adalah memakaikan jubahnya ke tubuh Silvana lantas menaikkan tudung hingga kepalanya tertutup. Saat Var tidak lagi menatapnya, Silvana tersenyum masam.

Silver Maiden [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang