36. Tantrums

6.7K 768 43
                                    

Keduanya terlelap di atas satu kursi, dengan Var memangkunya sementara Silvana menyandarkan kepalanya ke cekungan antara leher dan pundak laki-laki itu. Sinar matahari menyeruak samar. Mungkin belum sepenuhnya pagi karena langit di luar masih semuram dini hari, saat Var masih terjaga tadi. Laki-laki itu perlahan membuka mata ketika samar-samar dari kejauhan dia mendengar derap langkah kaki seseorang-belum begitu dekat.

Var menegakkan punggung, seketika membuat Silvana menggeliat. Gadis itu menarik diri lalu mengucek-ngucek mata. Dia mengerjap melihat Var yang berjengit seperti menyadari seseorang yang akan datang tidak lama lagi. Daripada orang itu masuk dan melihat Silvana ada di sana, bukannya di bangsal, Var memutuskan keluar. Dia sempat melirik pada Silvana yang masih tampak mengantuk. Tentu saja karena mereka baru tidur kurang dari tiga jam.

Var melepaskan jubah bulunya lalu menjadikannya selimut bagi gadis itu.

"Kembalilah tidur," katanya lalu mencium dahi Silvana sekilas. Dia pun meninggalkannya seorang diri.

Apa dia akan kembali lagi nanti? Silvana membatin bertanya. Kepalanya bertumpu pada sandaran kursi yang empuk, mencoba terlelap. Namun hawa dingin merayap di tubuh hingga dia mengerang. Di balik kursi itu, dia melihat keluar kastil, di mana langit abu-abu menyambutnya. Masih pagi-pagi benar.

Silvana melompat turun sambil tetap membalut tubuhnya dengan jubah Var. Tadinya dia berniat kembali ke bangsal, atau kalau tidak ke dapur karena pasti para pelayan tengah menyiapkan sarapan. Baru selangkah melewati meja peta yang jadi sumber perdebatan Var dan Rife semalam, Silvana bergeming. Menggigiti ujung kuku ibu jarinya, dia lalu beralih memperhatikan peta lebar yang terbentang.

Oltra..., batinnya dalam hati saat mengusap ringan permukaan peta. Oltra merupakan sebuah benua yang wilayahnya terpecah menjadi enam kerajaan. Silvana mengitar. Dia berhenti di garis utara di mana luas wilayah Hurdu seakan menaungi kerajaan lain yang ada di sisi selatan. Silvana beralih ke timur, melihat Ranoor yang mengapit Vighę di sisi timur. Paling selatan, Silvana menunjuk Larөa yang terlihat kecil dan damai. Gadis itu pun bergeming saat beralih di sisi barat: Raveann dan Kith.

Ada sesuatu yang hilang pada peta itu. Silvana hanya melihatnya sekilas, dan dia bisa langsung menyadarinya. Peta itu sedikit berbeda dari peta lain yang pernah dirinya lihat. Lautannya kosong.

Semburat kegetiran merambati benak Silvana. Lama dia tetap berdiri sambil memandangi peta tersebut, tanpa melewatkan setiap detil sudut yang terlihat. Posisinya tidak berubah ketika akhirnya pintu ruangan itu dibuka. Var masuk diikuti Rife.

"Salazar mengajukan diri memimpin ekspedisi? Kau akan membiarkannya begitu saja?" Rife jelas-jelas memprotes.

"Bukankah itu yang jadi saranmu semalam? 'Mengikuti arus'?" tanggap Var sinis. Detik selanjutnya, laki-laki itu berhenti melihat Silvana yang tengah membelakanginya.

"Entah apa yang akan terjadi jika semua prajurit kita tunduk pada komandonya." Di luar dugaan, Rife tidak terlalu peduli dengan apa yang tengah dilakukan Silvana. Persoalan Salazar berkali-kali lipat jauh lebih penting. Jika memang berniat membantu, seharusnya Salazar cukup berdiam manis saat Ratraukh atau Var mengarahkan semuanya. Apa maksud laki-laki itu dengan turun tangan langsung?

"Kita akan tahu," balas Var sembari mendekat pada Silvana. "Setidaknya itu akan menjawab rasa penasaran kita."

Silvana tersentak saat Var menepuk pundaknya pelan. Var mengernyit melihatnya yang seakan hendak memberitahu sesuatu. Sejauh ini Var hanya tahu nama gadis itu tanpa mencari tahu lebih jauh latar belakangnya. Seorang gadis biasanya tidak tertarik dengan strategi perang, geografis, atau semacamnya. Gadis bangsawan seperti Saura misalnya, meski dicekoki dengan berbagai pelajaran umum dan tata krama, Var yakin jika dia tidak pernah peduli. Poinnya bertambah apabila Silvana bukan dari kalangan yang sama seperti Saura.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now