13. Deadly Yarn

11.6K 1.1K 53
                                    

Saat tangisannya mereda, Fiona mengerjap tidak percaya melihat Quon masih duduk di dekatnya. Padahal rasanya Fiona menangis lama sekali, juga meracau tidak jelas. Akibatnya kini wajahnya menjadi sangat berantakan. Kantung matanya bahkan membesar. Tapi meski pun Fiona berangsur tenang, dia masih sesenggukan karena ingusnya tidak berhenti mengalir.

Sialan. Dia menggerutu dalam hati. Belum pernah Fiona seemosional ini saat berada di Gihon. Apalagi sekarang dia justru menangis konyol di depan seorang bocah yang tidak dia kenal. Fiona mengernyit melihat tidak ada pandangan mengejek dari anak itu. Dia masih berkedip-kedip polos, seolah meneliti perubahan ekspresi Fiona.

"Kau akan kena akibatnya kalau menceritakan hal ini pada orang lain," ancam Fiona yang tidak ingin citranya terganggu.

"Aku bahkan tidak tahu namamu." Quon mengedikkan bahu. "Jadi kenapa kau menangis?"

Fiona menyeka lagi pipi dan bawah hidungnya yang basah menggunakan sapu tangan. Dia sempat melirik pada Quon. Tatapan yang tidak menyenangkan. Gadis itu merajuk. Fiona pun tidak ingin membagi beban perasaannya, apalagi pada Quon.

Melihat Fiona yang terus-terusan membisu, Quon lantas merogoh tudung jubahnya yang membentuk kantung di belakang kepala. Dari sana dia mengeluarkan sebungkus makanan: beberapa potong roti dengan saus cokelat. Dia membuka bungkusannya di atas rumput sedangkan Fiona kedapatan melirik.

"Mau?" Quon menyodorkannya tepat di depan muka Fiona.

Fiona berdehem—gengsi. "Kenapa aku mau makan makanan kotor seperti itu?" Tapi tepat saat dia menyelesaikan kalimatnya, perut gadis itu mengeluarkan bunyi memalukan.

Quon tidak tertawa. Pipinya menggembung saat mengunyah. Dia melihat saat Fiona menjadi gugup sendiri bahkan mulai menggerutu tanpa suara. Hanya sepotong yang diambil Quon, dan setelahnya, gadis itu mendorong bungkusan yang terbuka tadi ke dekat Fiona.

"Aku juga memakannya, jadi itu tidak beracun."

Pandangan mereka tersambung cukup lama. Fiona berusaha menemukan semburat kepura-puraan, atau secuil saja niat buruk yang ada pada Quon, akan tetapi nihil. Sepertinya gadis itu benar-benar ingin menghiburnya.

"Tidak. Terimakasih," balas Fiona. "Kau membawanya untuk kau makan sendiri."

"Aku tidak pernah pelit soal berbagi makanan."

"Oh ya?" Fiona yang mulai sepenuhnya tenang, sedikit demi sedikit menerima keberadaan Quon. Masih ada sisa-sisa air mata yang tumpah dekat sudut matanya. Fiona pun kembali mengusapnya dengan jari yang dilapisi sapu tangan. "Apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah berada di sini beberapa malam dan tidak pernah melihatmu."

"Hanya.. tidak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Aku telah membuat seseorang marah dan menolak bertemu denganku."

"Apa yang kau lakukan?"

Quon meringis, menunjukkan deretan giginya. "Sedikit mengacau."

Fiona mencoba menebak arti dari gerak-gerik Quon. Keningnya sedikit berkerut. "Apa dia laki-laki?"

Gantian Quon yang mengerjap kaku. Bahkan tanpa gadis itu perlu menjawab, Fiona bisa tahu kalau dugaannya benar. Pasti menyenangkan sekali bisa dengan leluasa menemui orang yang dia sukai, batin Fiona iri. Fiona sayangnya tidak bisa terang-terangan seperti Quon.

Ada seseorang yang mengatakan jika seorang roh tidak akan bisa beristirahat dengan tenang apabila ada sesuatu yang belum dia selesaikan. Apakah karena itu, rohnya terperangkap di tubuhnya sendiri? Tapi siapa atau apa yang membantu gadis itu tetap bertahan?

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now