51. The Curse: Brain

8.5K 762 76
                                    

"Hei, apakah kau hantu? Apa kau sudah mati juga sama sepertiku?" Tanpa ada rasa menyinggung sedikit pun, Sira bertanya. Sosok di depannya masihlah bersinar dengan wajah yang sulit terlihat saking silaunya.

Rasa sakit akibat racun wolfsbane telah hilang, tapi tidak dengan perih pada luka di perutnya. Sira membalut luka yang menganga itu menggunakan jubahnya yang lusuh. Paham jika telah diberikan kesempatan sekali lagi untuk hidup, sebisa mungkin gadis itu bersikap amat ramah pada sosok tersebut.

Bagian bawah gaun sampai ujung kaki seseorang itu transparan. Layaknya roh yang keluar dari raga, dia tidak banyak bertingkah. Suaranya lembut sekali-jelas seorang perempuan. Apakah semua roh akan bersinar menyilaukan seperti dirinya? Sira pernah mendengar kisah Gadis Perak dari ibunya, apakah roh itu adalah seseorang yang beliau maksud?

Tidak kunjung mendapat jawaban, Sira tidak menyerah mengajaknya bicara. Gadis itu duduk bersila di atas dedaunan kering sambil memisahkan stroberi liar dari tangkai.

"Apakah kau sedang sedih? Daritadi kau tidak mengatakan apa pun. Aku bisa melakukan sesuatu jika kau menginginkannya."

"... Apa yang hendak kau lakukan sekarang..?" Akhirnya dia berkata meski tidak menjawab pertanyaan Sira.

"Tentu saja menemukan pembunuh ibuku." Setelah memulihkan tubuhnya dalam waktu singkat, hal yang pertama kali Sira lakukan adalah memakamkan wanita malang itu. Tanah masuk ke sela kukunya karena gadis itu menggali dengan tangannya sendiri. "Aku akan masuk ke Gihon. Masuk ke sana adalah impianku.. meski sekarang aku punya tujuan lain. Kuharap dia masih di sana. Akan sangat merepotkan bila mencarinya di seluruh Vighę."

"... Vighę.."

"Kapan kau kembali ke tubuh aslimu? Aku bisa mengajakmu jalan-jalan ke Xerokh."

"... Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak?"

"... Aku adalah monster."

Sira terdiam. Ucapan tadi sama sekali tidak dicernanya secara serius. Sebaliknya, gadis itu malah menanggapinya santai-terlalu santai.

"Kenapa kau bisa bilang begitu?"

"... Aku dikurung dan tidak bisa ke mana-mana.. Semua orang berpikir aku berbahaya karena tidak bisa mengontrol kekuatanku.. Dan benar.. aku bisa membuat mereka terluka."

"Tapi kau tidak melukaiku. Kau menolongku," balas Sira.

Hening. Mengira jika penghiburannya tidak berhasil meredam kesedihannya, Sira kembali berucap.

"Ibuku pernah berkata, tidak ada kematian yang sia-sia. Saat malaikat menjemput seseorang ke alam baka, apabila seumur hidupnya berbuat baik, satu permohonannya akan dikabulkan," katanya. "Entahlah denganku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi tidak ada salahnya kalau aku berharap kau bisa mendapatkan kebebasanmu suatu saat nanti." Gadis itu tersenyum lebar seraya menunjukkan deretan gigi.

Harapan Sira menjadi segel setelah kematiannya. Segel sebagai tebusan jiwanya yang musnah. Segel yang paling kuat dan sekaligus paling menyakitkan yang pernah Silvana terima apabila sesuatu memaksanya melepaskan diri. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapa pun termasuk Argent Burö.

Sayangnya Sira terlalu naif untuk menyadari, waktu itu dirinya tengah berhadapan dengan monster sesungguhnya.

***

Di saat perhatian semuanya terarah ke sumber cahaya keperakan yang gadis itu buat, Lilac diam-diam menggerakkan tangan. Dia masih memegang pedangnya meski tubuhnya sendiri telah roboh pada Var. Pedang laki-laki itu bisa jadi telah menembus perutnya, namun layaknya sebuah boneka, dia akan bergerak jika kendalinya masih dipegang orang lain.

Silver Maiden [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang