28. Water Ripples

7.3K 812 37
                                    

Varoscar Buriand memasuki benteng pesisir barat Kith, di mana bangunan tua namun kokoh tersebut berdiri di tepian jurang. Angin menderu. Sapuan ombak bergemuruh, menenggelamkan kicauan nyaring camar. Rife dan beberapa laki-laki mengikutinya. Ketika akhirnya mereka telah sampai di ruang utama, kapten dan para prajurit menundukkan kepala bersamaan.

"Separuh lebih?" Var menggumam saat berdiri persis di sebelah kursi yang akan dia duduki. Mata tajamnya mengarah nyalang pada seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap insiden semalam. "Bukankah menyedihkan jika aku harus turun tangan langsung, HANYA UNTUK MENDAPATI TIDAK ADA YANG TERSISA?!"

Seisi ruangan menjadi ciut. Tidak sedikit pria yang mengenakan baju besi yang berat, membuat ukuran tubuh mereka berkali-kali lipat lebih besar dari Var. Namun dalam satu bentakan yang menggelegar barusan, keringat dingin mereka bercucuran. Suasana makin mencekam saat Var melemparkan gulungan perkamen laporan begitu saja ke tengah-tengah—bahkan hampir mengenai salah satu prajurit.

"Sejak kapan tentara kita bisa dikalahkan oleh perompak?" Nada laki-laki itu menciptakan kebekuan yang mematikan. Guratan-guratan kemarahan tampak jelas di rona wajahnya yang memerah.

Tujuh bulan berlalu. Var dan Rife mengambil libur panjang mereka dari Gihon karena Kith tengah dilanda krisis. Kapal-kapal perompak menguasai perairan barat. Mereka mengambil muatan-muatan bahan makanan, dan juga—lebih runyamnya lagi—senjata-senjata yang baru ditempa. Raveann juga terkena imbas, tapi tentu saja Var menganggap kekalahan tentaranya sendiri sebagai aib terburuk.

Ratraukh Buriand juga merasakan emosi yang sama, namun pada akhirnya dia memindahkan tugas pada putranya itu sebagai kesempatan pembelajaran yang langka.

Mendengus gusar, Var akhirnya duduk di kursi yang ditempatkan paling ujung. Kedua kakinya menyilang dengan tangan yang saling terlipat di depan muka.

"Jabarkan rinciannya," perintah Var dingin.

"Sampai sejauh ini mereka memiliki lima sampai delapan kapal. Malam dan berkabut adalah waktu yang sangat tepat bagi perompak sialan itu untuk beraksi."

"Ada campur tangan seseorang yang ahli mengendalikan arah angin."

"Beberapa waktu yang lalu juga terdengar tembakan meriam."

Cenayang dan senjata yang bagus, batin Var. Jelas merupakan kapal curian—mungkin saja kapal-kapal itu merupakan peninggalan perang. Otak perompaknya sangat pintar dengan memoles semuanya dengan teramat baik. Ditambah suasana gelap malam dan kabut yang tebal, laut menjadi medan pertempuran yang sempurna.

Imbas lain juga mengenai penduduk yang tinggal di sekitaran benteng. Nelayan tidak berani melaut karena takut sewaktu-waktu terjebak ranjau. Mereka kelaparan. Hasil pertanian saja tidak cukup.

"Siapkan semuanya lagi," ujar Var dengan suara yang berat. "Kita akan membantai semuanya malam ini."

Kalimat Var terakhir itu sebagai penutup pertemuan yang amat singkat. Ketukan boots yang berat menggema. Sebelum dia meninggalkan ruang utama, salah satu dari prajurit buru-buru menambahkan saran yang akan membantu mereka.

"Apakah kita harus menambah kapal? Apakah semuanya akan dikerahkan? Atau.. tuanku hendak meminjam kapal kerajaan?"

Var menoleh.

"Aku hanya butuh dua kapal," tandas laki-laki itu disambut keheningan serta keraguan.

***

Argent memasuki kamar yang terletak di samping kastil kediamannya. Karena manor miliknya menghadap ke selatan, kamar Silvana menjadi satu-satunya ruang yang mendapatkan cahaya matahari pagi pertama kali. Setelah setahun penuh ruang yang hangat itu ditinggalkan pemiliknya, Argent bisa lega beberapa saat karena gadis itu kembali. Namun ketenangannya tidak berlangsung lama.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now