15. One Night

11.8K 1K 40
                                    

Var terus meniupkan udara ke mulut Quon. Sekali, dua kali, dan berkali-kali hingga napas laki-laki itu sendiri menjadi terengah-engah. Namun dia tidak menyerah. Bibirnya terus membekap milik gadis itu sampai memar. Dan untunglah, usaha Var akhirnya membuahkan hasil. Dalam batinnya menjalar kelegaan saat samar pundak Quon bergerak naik turun.

Beku. Hanya itu yang ditemukan Var saat memeluknya erat. Var makin mengeratkan dekapannya hingga dagu Quon menumpu pada bahunya. Suara napasnya terdengar lambat dan terputus di telinga Var. Ini masih belum berakhir.

Memutar otak, Var mengangkat tubuh gadis itu lagi di bawah tirai salju yang menebal. Mereka tidak bisa terus-terusan ada di tempat terbuka. Var lantas melompat tinggi lagi, lalu mendarat di atap sebuah bangunan. Dia memejamkan mata sekilas sebelum mengedarkan penglihatannya yang khusus. Tembok-tembok rumah yang paling dekat dengannya menjadi transparan. Kepalanya berhenti memutar saat Var menemukan apa yang dia cari.

Var melompat lagi, melewati dinding yang dipasangi kawat berduri. Kali ini mereka berdua berhenti di pekarangan sebuah rumah yang tengah ditinggalkan penghuninya. Var masuk tanpa kesulitan setelah mendobrak pintu depan dengan kaki. Pandangannya berkeliling lagi, lalu pilihannya jatuh ke salah satu kamar yang dilengkapi dengan perapian.

Pertama-tama dia membaringkan Quon di atas ranjang lalu menutupi tubuh gadis itu dengan selimut tebal. Var kemudian beralih ke perapian. Laki-laki itu menumpahkan semua minyak dalam kendi yang dia temukan lalu membakarnya seketika. Var lantas kembali menghampiri Quon. Badannya masih sedingin es.

Kenapa tubuh seseorang bisa membeku secepat ini? Var bertanya-tanya penasaran. Padahal belum ada berapa lama sejak turunnya salju. Kalau dibiarkan terus begitu, akan sangat berbahaya untuknya, pikir Var lagi. Suhu tubuhnya benar-benar tidak lazim, seolah-olah yang Var sentuh saat ini hanyalah sebongkah es.

Ada cara yang paling mudah..

Var sempat ragu kala cara itu terlintas dalam benaknya. Namun saat melihat bibir membiru Quon, Var tahu kalau dia harus mencoba berbagai cara untuk menyelamatkannya.

Laki-laki itu bangkit berdiri lagi sambil tetap memandang wajah Quon. Dia melepas semua baju atas yang berlapis, celana, sampai sepatu. Keraguan yang masih tersisa mampu Var enyahkan. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Quon dan mulai melucuti pakaian gadis itu juga—semua yang melekat tanpa terkecuali. Pada akhirnya Var pun naik ke ranjang lalu merengkuh Quon ke dalam pelukannya di bawah selimut yang sama.

Untuk beberapa saat lamanya, Var terus merapatkan tubuh keduanya. Mata laki-laki itu juga memejam, merasakan baik-baik helaan napas Quon yang begitu dekat. Ketika hembusannya berubah ringan, Var membuka matanya lagi. Dia menatap tiap detil wajah itu—wajah yang mulai merona kembali. Usahanya telah sedikit banyak membuahkan hasil.

Var lantas menggenggam kedua tangan gadis itu. Dia juga meraih kedua kaki Quon bergantian, mengusap-usapnya sehingga hangat tubuh Var menjalar juga pada gadis itu.

Dan tak lupa, bibirnya..

Var mempertemukan bibirnya dan milik Quon, tetapi tidak dengan cara seperti sewaktu di atas menara tadi. Dia menjadi lebih berhati-hati.. juga penuh perasaan.

***

Ujung jari-jari Fiona memutih. Namun semakin dia menggesek-gesekkan kedua tangannya, semakin gadis itu gelisah. Baru kali ini dia menjejakkan kaki di area royal garden—tepatnya di muka pintu masuk yang dijaga dua orang pengawal. Royal garden sendiri merupakan istilah tempat di mana orang-orang yang berpengaruh di Gihon berkumpul. Bangunannya terlepas dari gedung-gedung empat asrama. Kenyataannya royal garden adalah rumah kaca. Dari dinding sampai atapnya berupa kaca, sehingga cahaya matahari selalu bisa leluasa masuk. Karena itulah, tempat tersebut selalu terkesan sakral—karena cahaya kemilauan selalu terpantul di sana.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now