34. Labyrinth

6.7K 785 23
                                    

Tubuh Silvana bergelung seperti janin. Selimut di atas ranjang membentuk bundaran spiral yang acak-acakan. Gadis itu berbaring menyamping dengan tangan kanannya menjulur. Dekat pergelangan tangannya telah dipasang kain pembalut yang menutupi luka. Silvana pun menggeliat sebelum akhirnya membuka mata. Tidak ada siapa pun di kamar itu.

Di saat Silvana celingukan, pintu dibuka. Kebetulan sekali Var masuk ketika Silvana baru saja bangun. Sorotnya yang tajam masih tidak berubah semenjak Silvana melihatnya marah beberapa hari yang lalu. Namun kali ini rasanya berbeda. Dia menatap Silvana, tapi dengan sikap yang jauh lebih tenang.

Var kemudian duduk dekat kursi yang diletakkan menyamping, menghadap ranjang. Silvana tidak yakin arah kursi itu tidak berubah dari semula. Mungkinkah Var sengaja menggesernya saat Silvana tertidur?

"Sudah seminggu lebih." Laki-laki itu angkat bicara. Tubuhnya berbalut jubah bulu yang tebal dengan bagian atas yang menaungi bahunya yang lebar. Rambut hitam Var yang panjang tergerai sedikit berantakan, namun justru itu yang membuat dirinya terkesan rileks kali ini. "Kurasa ini pertama kalinya kita bisa bicara seperti seharusnya."

Silvana mengerjap. Gadis itu lalu menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. Var mengernyit mendapatinya hanya mengubah posisi duduknya. Mereka kini duduk saling berhadapan karena Silvana sengaja duduk di tepian ranjang—persisnya tepat di depan Var. Pandangan Silvana kemudian menantinya untuk bicara lagi.

"Siapa namamu?"

"Silvana." Ucapannya ketika menjawab hanya lewat sepersekian detik dari kalimat Var.

"Apa kau tahu bagaimana kau bisa berakhir di sini? Kau tahu ini di mana?"

Tanggapan gadis itu hanya berupa gelengan pelan.

"Aku menemukanmu di tepian sungai Winaum," kata Var mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Silvana. "Jika arusnya buruk, kau bisa tewas tenggelam. Di sana kau berbaring terbalik dengan kedua tanganmu terikat di punggung. Dan untuk pertama kalinya aku melihat seseorang dengan tubuh sekurus dirimu."

Silvana terdiam. Meski tampak semburat kegetiran dalam rona wajahnya, Var justru melihat gadis itu masih memberikan senyumnya biarpun samar.

"Apa yang terjadi? Darimana asalmu?"

Beberapa detik, Silvana terlihat bimbang. Kedua tangannya sampai meremas kuat gaun hingga amat kusut. Di luar dugaan, Var menunggu dengan sabar sembari pandangannya tidak lepas dari gadis itu. Semenjak Var membentaknya di istal Nii, juga sewaktu Silvana menjadi orang yang pertama Var lihat saat sadar dalam dinginnya air danau, laki-laki itu dirayapi perasaan aneh. Asing sekaligus familiar. Entah sejak kapan batinnya menyimpulkan jika Silvana bukanlah ancaman seperti yang dia duga sebelumnya.

"Shiralun..," sebut Silvana pelan. "Kami diserang."

Var mengernyit.

"Bandit?"

"Mungkin.." Ujung-ujung jari Silvana pelan-pelan membeku. Dia lantas meremasnya supaya kegelisahannya teredam. Menunduk, gadis itu berucap lagi, "Seseorang menyelamatkanku, tapi kami harus lompat dari tebing. Aku bahkan tidak tahu dia masih hidup atau sudah mati.."

"Apa kau berasal dari Raveann?" tanya Var. Karena Shiralun merupakan perbukitan di perbatasan Raveann. Gadis itu terjatuh di sungai Winaum, yang mana menjadi penghubung antara Raveann dan Kith.

"Aku mungkin akan diasingkan di Taruhi jika kembali ke sana." Silvana tersenyum canggung di hadapan Var. Kalimatnya memang bukan kebohongan, namun Silvana merasa harus hati-hati memilih kata-katanya supaya Var setidaknya tidak menyingkirkannya dari tempat itu—terutama karena Silvana ingin berada dekat laki-laki itu lebih lama.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now