Epilogue

11.9K 1K 171
                                    

Sementara seorang tabib memeriksa laki-laki yang terbaring berbalut selimut tebal tersebut, sang Gadis hanya bisa berdiam cemas di samping ruang. Ujung kuku gadis itu mulai rusak karena berulang kali digigiti. Setiap tabib melakukan pergerakan sekecil apa pun—termasuk memicingkan mata atau menghela napas, dia juga akan bereaksi secara otomatis.

"Apa sakitnya buruk?" tanya Silvana saat sang Tabib beralih menghadap ke arahnya. "Apa bisa segera sembuh? Ramuan apa yang harus diminum?"

"Mohon jangan terlalu khawatir," kata tabib seraya tersenyum. "Beliau hanya kelelahan. Ini juga akibat dari cuaca yang tidak bagus saat beliau bepergian. Beliau hanya butuh istirahat yang cukup dan ramuan untuk mengembalikan suhu tubuh normalnya."

Sang Tabib menunduk sekilas sebelum kemudian pergi meninggalkan ruangan.

Silvana langsung menghambur ke ranjang Var dan berlutut menghadap tepian ranjang laki-laki itu. Wajahnya memelas sedih karena untuk pertama kalinya dia melihat Var yang jatuh sakit. Suhu tubuhnya tinggi sekali hingga Silvana yakin kalau telur yang ditumpahkan ke dada telanjangnya pasti akan matang dalam hitungan detik.

Bagaimana kalau diagnosis tabib salah? Bagaimana kalau sewaktu-waktu keadaan Var memburuk? Apa laki-laki itu akan mati? Jadi Silvana akan ditinggalkan sendirian lagi? Sempat terpikirkan untuk memberikan darahnya pada Var, tapi kalau laki-laki itu terbangun, dia pasti akan sangat murka.

Hal yang paling ditakutkan Silvana adalah jika Var meninggalkannya. Namun membayangkan bagaimana wajah marah Var, Silvana akan seketika menciut dan tidak akan berpikir dua kali menceburkan diri ke kawah gunung berapi.

Setelah berjam-jam Silvana tidak beranjak dari sisi Var—dengan sesekali meminumkan ramuan obat, gadis itu akhirnya tidak sengaja terlelap. Sayangnya dia melewatkan momen saat Var terbangun.

Var menegakkan punggungnya, hingga kain basah yang menempel di dahinya beringsut jatuh. Dia menemukan Silvana yang tengah berbaring tengkurap dengan muka yang menghadap ke arahnya. Hati-hati agar tidak membangunkan gadis itu, Var memindahkan selimutnya pada Silvana.

Var merasa bersalah padanya. Dia meninggalkan gadis itu selama hampir empat hari, dan kembali dalam keadaan kacau. Tinggal satu lagi urusan yang tersisa dan untungnya bisa diselesaikan di Vighę. Lebih cepat lebih baik, pikirnya. Akhirnya Var pun beranjak pergi lagi, tidak peduli waktu masih pagi buta.

***

Sialnya ketika Var sampai di rumah, pelayan di sana melapor kalau Silvana pergi. Gadis itu bahkan membawa Calla. Var mendengkus gusar. Padahal dia sudah memperingatkan Silvana berkali-kali supaya tidak keluyuran sendirian—terlebih bila Var sudah kembali.

Silvana masih suka mengunjungi kabaret. Keingintahuannya yang besar bisa-bisa mendorongnya untuk mencicipi segala jenis alkohol yang tersedia di sana.

Sengaja mencari masalah rupanya.

Silvana pergi sewaktu pagi tadi—beberapa jam setelah Var meninggalkannya, dan sekarang petang menjelang. Ke mana dia kira-kira?

Rasanya Var mulai gila setelah berkeliling cukup jauh dan tidak kunjung menemukan gadis itu. Dia sampai menyisir sepanjang Tiberi sampai Riget kemudian kembali lagi ke Xerokh. Malam tiba dan lentera-lentera telah dinyalakan. Tempat itu menjadi padat, dan kepekaan mata Var pun mulai berkurang demi mengenali ratusan wajah yang berlalu lalang.

Beberapa saat uring-uringan sembari menggerutu, Var secara kebetulan melihat seseorang berbalut jubah beludru itu sedang tawar menawar dengan penjual pernak-pernik. Suaranya sangat mudah Var kenali. Betapa tidak? Semakin hari mulutnya semakin cerewet—terutama di pusat keramaian seperti ini.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now