11. Miss me?

7.9K 488 62
                                    

Alina terengah ditengah rasa ketidakterimaannya. Bagaimanapun, hatinya menolak, meski dirinya terikat kontrak menjadi seorang istri nanti. Tangannya Alina tanpa sadar semakin erat mencengkeram selimut.

"Tidur lagi, Alina." Rangga menyibukkan diri membenarkan baju tidurnya. Kembali dirinya menyandar pada sandaran ranjang.

Alina tak menggubris sedikitpun. Dibalik selimut ini dirinya memakai pakaian yang sangat terbuka, meski lumrah untuk sebagian banyak orang. Baju tidur ini pemberian dari salah satu pelayan. Semua baju tidurnya berbentuk dress rumahan yang panjangnya bahkan tak sampai lutut, berikut dengan lengan yang terekspose bebas.

"Kamu kenapa, Alina!" Desis Rangga dibuat geram. Rangga dengan keras kepala menarik selimut yang Alina peluk.

"Tuan, ga bol-akh!"

Alina melotot syok. Matanya menatap marah tak terima bercampur keterkejutannya yang kentara.

Rangga membeku kala Alina membenarkan kembali selimut yang tadi ia tarik hingga memperlihatkan bahu Alina yang terekspose bebas. Sejenak mata mereka saling menatap. Rangga dapat memgetahui dengan betul betapa Alina berharap dirinya tak melakukan hal yang tidak Alina inginkan. Kedua mata itu benar-benar membuat Rangga tak sanggup berbuat lebih. Alina yang ditatap kini semakin menatap penuh permohonan.

Tanpa berucap sepatah kalimat pun, Rangga memutuskan untuk menghentikan acara saling menatap mereka. Rangga lalu beringsut menuju sisi ranjang dan berdiri menuruni ranjang dengan segera.

Alina membeku tak menyangka kala Rangga melangkah gontai menjauhkan diri. Disana Rangga terus berjalan mendekat pada jendela yang begitu besar, lalu berdiam diri membelakangi.

"Tunggu sebentar lagi, tunggu Putra jalan jauh buat pergi ke kamar." Rangga berucap dengan suara berat khasnya. Kedua tangannya melipat seiring berdiri menghadap jendela. Suasana diluar sudah mulai sedikit cerah.

Alina terdiam, matanya mengedip begitu lemah, penuh ketidakbahagiaan. Tidak, Alina tidak bahagia. Beginilah rasanya dipaksa dalam keadaan kita yang tak memiliki kekuatan.

"Demi Putra, Alina. Demi anak kamu satu-satunya." Alina mengedip juga mengangguk tuk meneguhkan hatinya. Meski rasa hatinya ingin mati, tapi tetap saja, anaknya harus hidup bahagia, tidak boleh sengsara.

"Hari ini ikut ke kantor! Ikut makan siang bareng kolega, malemnya ikut ke pesta pernikahan temen aku."

"Ini wajib buat kamu, Alina. Sore waktu jam kosong, kamu belanja, terus ke salon buat make-up ke acara pernikahan." Rangga memutar tubuhnya dengan tegap. Kedua tangannya masuk kedalam saku. Mata tajamnya tak bisa lagi menerima penolakan.

"Pasti ada waktu tidur siang juga. Bisa tidur di kantor."

"Putra gimana?" Ucap Alina segera mengalihkan tatapannya. Rangga terus saja menatap pada bibirnya dengan sengaja. Alina merasa ditelanjangi.

"Putra main, ga bisa ikut."

Lama mereka berbincang, Alina hanya bertanya beberapa patah kata saja. Alina bertanya bagaimana Putra nanti siang, bagaimana Putra di rumah sendirian, termasuk bagaimana jikalau Putra meminta untuk bermain ke kampung. Dan bagusnya, Rangga mengiayakan semua itu.

"Kamu mau nikah kapan?" Ucap Rangga mengganti topik pembicaraan.

Sontak Alina menggeleng tak tahu menahu. Alina tidak sedikitpun memiliki ide tanggal menikah. Lagi pula, Alina justru bingung kenapa Rangga malah bertanya pada dirinya.

Alina's Love Story [TAMAT]Where stories live. Discover now