42. Spanduk

2.8K 274 36
                                    

Ditengah gelap dan dinginnya malam, Alina ke pantai dengan daster dan sweter panjang, memakai coat yang ia pakai kala terakhir kali bersama Rangga. Tak lupa wanita cantik itu membawa lampu emergency dan senter.  Terdapat birkin besar dalam genggaman tangan mungil itu.

Hembusan angin pantai membuat Alina sesekali meringis. Sangat dingin.

Alina menyusuri bibir pantai ditengah kesendiriannya. Di kejauhan sama banyak para nelayan bersama istri-istrinya yang menunggu di bibir pantai. 

"Hhhhhh." Alina tersenyum mendengus, lalu menunduk. Disana istri-istri pelayan begitu sigap melayani suaminya. Dari mulai memberi minum, memijat, sampai tertawa bersama.

"Sssst! Huufth! Dinginnyaa."

"Nah, itu tempat yang kemarin!"

Alina membuka sandal, lalu berlari kecil menuju tebing dimana ada batu besar dan lebar yang bisa dinaiki. 

"Dingin, ga? Hehe," tanya Alina menunduk meremas lemah pada perut bawahnya.

"Langitnya indah banget."

Alina mendongak menatap menelisi langit yang dipenuhi bintang. Sekilas bayang-bayang suaminya hadir. Alina ingat sekali mereka pernah menikmati malam hari berdua di pantai, duduk diatas batu, menelisik bintang-bintang.

"Mas Rangga lagi ngapain, mas?" batin Alina menurunkan tatapan dari bintang disana.

"Mas Rangga jagain Putra, kan?"

"Mamah kangen Putra. Hiks. Hiks. Putra lagi ngapain, nak? Hmm? Putra makan sehat, kan, sayaang? Hiks."

Cukup lama wanita itu meratapi kesedihan. Sebetulnya Alina sedih dirinya pergi seperti ini. Tapi apalah daya, dirinya tak mampu lagi tuk bersama Rangga. 

Meski Alina terkesan tega meninggalkan anaknya, tak apa. Alina tahu Rangga sangat menyayangi anak mereka. Lagi pula hanya Alina sendiri yang baru tahu kalau hubungan Rangga dan Putra itu anak dan ayah kandung.

"Ga pernah aku semarah ini di seumur hidup aku, mas. Susah susah aku buat cinta sama kamu. Tapi ternyata kamu udah jahatin aku,"

"Aku nerima dengan bahagia kamu ayah biologis Putra. Tapi buat jadi suami akuu,.."

"Aku ga bisa," batin Alina menunduk lesu.

"Meskipun kamu kadang emosional, gampang banget marah kalau aku ga sesuai mau kamu, aku masih bisa banget maafin. Aku maklumin kamu yang hidup mudah sejak kecil, semua kemauannya harus terpenuhi segera."

"Aku maklumin itu, mas. Lagi pula kamu ga pernah pukul aku, nampar aku, sama sekali ga pernah." Alina menggeleng sembari menekuk kedua lutut.

"Tapi kalau ditambah sama fakta yang baru aku tehaui, ditambah cara mas dapetin aku, aku ga bisa."

"Aku ragu diri aku kuat hidup sama mas ditengah banyak kecurigaan aku ke kamu."

"Haha. Bisa-bisa kamu yang ternyata yang nabrak aku pas mau lahirnya Putra. Kan, lucu."

Alina terkekeh hambar ditengah rasa sakitnya. Meski dirinya bukan Tuhan, tapi dosa Rangga amatlah besar hingga ia sulit untuk percaya.

Kulit tas miliaran yang sedikit robek itu dicabut seperti mainan.

"Kedepannya, kedepannya lagii,.. ga tahu kebohongan apa yang bakal kebongkar." Alina mencabut bubuk kulit tasnya tanpa peduli.

"Jaman sekarang, bahasa psikologinya tuu, trust issue."

"Ohok! Ekhem! Yups! Trust issue," kekehnya hambar.

"Huuft." Alina merebahkan tubuh. Ia biarkan rambutnya terhembus bebas. Kakinya ia rapatkan agar dasternya tak terhembus angin.

Alina's Love Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang